Terbukti Tidak Bersalah, Dokter Minta Nama Baiknya Dipulihkan
3 min readSURABAYA, TABLOIDJAWATIMUR. COM – Terdakwa pencemaran nama baik di RS Mata Undaan, Surabaya, dokter Sudjarno, sudah divonis hukuman percobaan tiga bulan. Namun perkara yang menyeret mantan Direktur RS Mata Undaan tersebut belum tuntas, karena terdakwa mengajukan banding.

MENANGGAPI hal ini, pelapor perkara tersebut, dr Lidya Nuradianti langsung angkat bicara. Didampingi kuasa hukumnya, George Handiwiyanto, SH, dokter Lidya mengaku tidak keberatan dengan vonis hakim tersebut. Sebab, meski terdakwa dihukum percobaan, namun hal tersebut sudah membuktikan dirinya tidak bersalah dalam kasus itu.
“Saya hanya ingin nama saya bersih atas fitnah dan pencemaran nama baik. Dengan vonis itu membuktikan saya tidak bersalah,” ujar dokter Lidya, Sabtu (30/01/2021).
Sebelumnya, Sudjarno memberikan surat teguran kepada dokter Lidya selaku anak buahnya di RS Mata Undaan, Surabaya. Lidya dinilai melanggar prosedur kerja dan etika profesi. Masalahnya, seorang pasien Lidya, mata kirinya dioperasi oleh perawatnya. Perawat, dalam aturannya, tidak berwenang mengoperasi. Yang seharusnya mengoperasi mata pasien adalah dokter Lidya.
“Operasi itu tanpa sepengetahuan saya. Saat itu, saya sedang melakukan operasi di ruangan lain yang steril. Sedangkan operasi yang dilakukan perawat itu di ruangan non steril. Saat itu juga ada enam atau tujuh pasien yang harus saya tangani secara beruntun. Jadi saya tidak tahu,” ungkap Lidya.
Dokter Lidya mengatakan, kasus ini sudah dilakukan mediasi. Perawat yang bernama Anggi yang saat itu mengoperasi pasien juga sudah membuat pernyataan. Isinya, ia memang melakukan operasi atas inisiatif sendiri. Lidya mengira, setelah adanya surat pernyataan itu, kasus tersebut selesai. “Jadi, saya tegaskan, itu bukan perintah saya. Saat itu saya juga tidak tahu jika Anggi melakukan operasi,” tegasnya.
Selain itu, Anggi tidak memiliki kewenangan melakukan operas. Sebab, perawat Anggi tak memiliki kapasitas untuk itu. Namun pihak manajemen rumah sakit justru memberikan surat teguran kepada Lidya.
“Surat teguran itu diberikan dua bulan setelah kejadian. Padahal pasien juga sudah dilayani dengan baik dan sepakat tidak memperpanjang atau menuntut. Jadi, kalau ada keterangan pasien protes, itu tidak benar. Ada bukti tanda tangan pasien kok,” jelasnya.
Sehingga dalam hal ini, Lidya merasa didzolimi. Polemik ini sempat diproses Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Surabaya. Setelah diproses, terdakwa Sudjarno diminta untuk mencabut surat teguran itu, namun tidak bergeming. “Kemudian hingga tujuh bulan tidak ada tindak lanjut, saya melaporkan kasus ini ke Polrestabes Surabaya. Setelah dua bulan diproses penyidik, IDI lantas mengeluarkan surat jika saya tidak bersalah,” jelas Lidya lagi.
Menurut Lidya, seharusnya surat teguran itu diberikan jika ada pasien yang komplain saat itu. Namun pasien baru menuntut setelah tujuh bulan kejadian. Lalu, terkait protes pasien ke rumah sakit hingga meminta ganti rugi Rp 450 juta, Lidya mengaku tidak mengetahuinya.
“Kalau ada perjanjian antara Sudarno dan pasien, saya juga tidak tahu. Apa ada kong kalikong, saya juga tidak tahu. Justru saya tahu ada kesepakatan itu di persidangan,”papar Lidya.
Perkara ini berawal ketika Sudjarno memberikan surat teguran kepada dokter Lidya selaku anak buahnya. Lidya dianggap melanggar prosedur kerja dan etika profesi. Masalahnya, seorang pasien Lidya, mata kirinya dioperasi oleh perawatnya. Perawat dalam aturannya tidak berwenang mengoperasi. Yang seharusnya mengoperasi mata pasien adalah dokter Lidya.
Pasien itu protes ke rumah sakit hingga meminta ganti rugi, karena perbuatan yang dianggap malpraktik. Sudjarno dan pihak pengelola rumah sakit sudah membayar ganti rugi Rp 450 juta kepada pasien tersebut.
Terdakwa kemudian mengirim surat teguran kepada Lidya dan perawatnya. Namun Lidya keberatan. Pasalnya, operasi itu dilakukan perawat tanpa sepengetahuannya. Kedua, Sudjarno sebagai direktur, tidak berwenang menegurnya karena tuduhan melanggar kode etik. Kasus ini berlanjut. Sudjarno dan manajemen rapat dengan yayasan. Saat itu, Sudjarno menunjukkan surat teguran itu kepada pengurus yayasan. Semestinya surat itu hanya ditujukan kepada Lidya.
Perbuatan terdakwa dianggap sebagai penghinaan yang menyerang kehormatan Lidya, karena tidak mempunyai kewenangan menilai dokter melanggar etik atau tidak. Setelah itu, dokter Lidya menjadi bahan pergunjingan di rumah sakit. Dia sempat mendengar seorang dokter menggunjingnya di kantin dengan menyatakan Lidya sudah ditegur karena melanggar kode etik. Kasus itu kemudian menjadi rahasia umum. (ang/mat)