UM Bentengi Mahasiswa Dari Paham Radikal dan Ekstrem
2 min readMALANG, TABLOIDJAWATIMUR.COM – Berada di penghujung tahun 2022, Universitas Negeri Malang (UM), Jawa Timur, kembali menggelar refleksi akhir tahun. Berbeda dengan tahun sebelumnya, kali ini dikemas dalam kegiatan refleksi kebangsaan lintas agama di kampus setempat, Kamis (29/12/2022).

KETUA panitia, Prof. Dr. Yusuf Hanafi , S.Ag, MFilI, menjelaskan, UM setiap tahun rutin mengadakan refleksi dan dzikir di akhir tahun. Tetapi tahun ini konsep kegiatannya mengalami modifikasi dan penambahan. “Jika tahun sebelumnya hanya refleksi dan dzikir di masjid. Tahun ini Pak Rektor menghendaki dikemas dalam kegiatan refleksi kebangsaan lintas agama, lintas iman, untuk merekatkan dan harmoni sivitas akademika UM,” katanya, Kamis (29/12/2022).
Prof. Dr. Yusuf Hanafi, menjelaskan, dalam kegiatan ini panitia mendatangkan tokoh lintas agama, termasuk aliran kepercayaan. “Kemudian kita sama-sama melakukan refleksi kebangsaan,” katanya.
Dalam forum ini juga ada peresmian Griya Moderasi Beragama dan Bela Negara (GMBB). Dalam hal ini, UM menjadi satu dari sembilan perguruan tinggi yang ditetapkan Kementerian Agama menjadi pilot project pengarusutamaan ideologi, sikap, dan perilaku yang toleran, inklusif, dan moderat.

“Tugas utamanya adalah penguatan moderasi beragama. Artinya, beragama yang moderat, tidak ekstream, toleran, inklusif, merawat kemajemukan, dan perbedaan. Sasaran utamanya mahasiswa, agar mereka terhindar dari paham dan ideologi radikal dan ekstream,” jelas Yusuf Hanafi.
Bentuk kegiatannya ada sekolah moderasi, komunitas binaan untuk pengarusutamaan MBBN, duta moderasi dan advokasi masyarakat, khususnya menjaga mahasiswa dari paham dan ideologi transnasional ekstream dan radikal. “Griya Moderasi Beragama dan Bela Negara Griya diletakkan di Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Pembelajaran (LP3) UM. Selain GMBBN, ada juga Pergerakan Mahasiswa Moderasi Beragama dan Bela Negara,” tandasnya.
Sementara itu, Rektor UM, Prof. Dr. Hariyono, M.Pd, menilai pentingnya moderasi beragama dan bela negara. Pasalnya, Indonesia bukan negara agama tapi berketuhanan. “Indonesia bukan negara agama, tapi pendiri bangsa telah berkomitmen bahwa kita memiliki sila pertama tentang Ketuhanan yang Maha Esa, yang harus dimaknai dengan nilai-nilai keagamaan,” katanya.
Bahkan, masih kata Prof. Dr. Hariyono, pada salah satu pidato Soekarno 1 Juni 1945, dinyatakan bahwa tidak hanya bangsa Indonesia, tapi seluruh warga negara Indonesia harus bertuhan. “Tidak hanya bangsa Indonesia, tapi negara Indonesia harus bertuhan. Maknanya, agar kebijakan regulasi negara itu juga mencerminkan nilai-nilai ketuhanan,” bebernya.
Begitu juga dalam dunia keilmuan, kebenaran yang absolut adalah milik Tuhan. “Sehingga kalau ada orang yang menyatakan bahwa itu kebenaran yang absolut, berarti dia telah mengambil hak prerogatif Tuhan. Makanya di dalam dunia pendidikan, proses dialog itu menjadi sangat penting,” tegasnya. (div/mat)