Kementerian PUPR Dukung Aneksasi Pemkot Malang
3 min readMALANG TABLOIDJAWATIMUR. COM – Polemik pengelolaan dan pemanfaatan Sumber Wendit di Desa Mangliawan, Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Malang, berbuntut panjang dengan terbitnya tiga SIPA oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), kepada PDAM Kota Malang. Menanggapi hal itu Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Malang, Drs. Hari Sasongko, mengatakan bahwa dengan adanya SIPA itu, Kementerian PUPR telah menyetujui aneksasi (mengambil paksa tanah atau wilayah orang lain) Pemerintah Kota Malang.

KEPADA awak media, Minggu (24/02/2019), Hari Sasongko menegaskan dengan dikeluarkannya tiga SIPA (Surat Ijin Pemanfaatan Air) Nomor 926/KPTS/M/2018, dan Nomor 927/KPTS/M/2018 serta Nomor 928/KPTS/M/2018 oleh Kemen PUPR kepada PDAM Kota Malang untuk pengelolaan Sumber Wendit 1, 2 dan 3, pihaknya dan Pemerintah Kabupaten Malang menolak dengan tegas penerbitan tiga SIPA tersebut. Penolakan ini disebabkan titik koordinat Sumber Wendit yang notabene terletak di Desa Mangliawan, Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang, dicantumkan sebagai wilayah Kota Malang.
“Kita tetap akan menolak dengan tegas terkait tiga SIPA tersebut. Jika memakai istilah PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa-red), Kementrian PUPR itu meligitimate aneksasi wilayah Kabupaten Malang oleh Kota Malang, yang tersirat dalam SIPA itu. Karena ada sertipikatnya dan milik Kabupaten Malang,” tegas Ketua DPRD Kabupaten Malang.
Dikhawatirkan dengan dikeluarkannya SIPA itu, ke depan akan menjadi preseden buruk bagi tata kelola pemerintahan baik di pusat maupun daerah, Hari pun mengingatkan agar pemerintah pusat bertindak adil dalam hal ini. “Pemerintah pusat harus adil dalam hal ini, jika itu wilayah Kabupaten Malang, jangan diberikan ke Kota Malang,”ujarnya.
Sebenarnya pengelolaan dan pemanfaatan Sumber Wendit oleh PDAM Kota Malang telah diatur dalam perjanjian Kerja Sama (PKS) sejak 2003 antara Pemerintah Kota Malang sebagai pengguna dan Pemerintah Kabupaten selaku penguasa wilayah Sumber Wendit. Dalam PKS tersebut disepakati selain membayar Rp 133,- sebagai restribusi pemanfaatan air tanah ke Jasa Tirta, Pemkot Malang juga dikenai kontribusi ke Pemkab Malang, senilai Rp 80,- per liter, untuk air yang diambil dari Sumber Wendit. Karena menganggap ada keuntungan dari pemanfataan air Sumber Wendit oleh PDAM Kota Malang, pada perkembangannya Pemkab Malang mengajukan kenaikan kontribusi menjadi Rp 90,-. Namun agaknya Pemkot Malang keberatan dengan hal ini, sehingga tidak melakukan perpanjangan PKS atau addendum.
Masalah semakin rumit ketika Kementerian PUPR, yang menurut Pemkab Malang, tidak melakukan koordinasi atau pemberitahuan terlebih dahulu menerbitkan tiga SIPA di atas pada tanggal 21 November 2018. Mengenai PKS pengelolaan Sumber Wendit, Hari Sasongko mengaku akhir pekan kemarin telah melakukan audiensi bersama jajaran Pemkab Malang ke Kementerian Dalam Negeri.
“Sesuai dengan PKS, apabila terjadi perselisihan, maka akan diselesaikan pemerintah pusat, dalam hal ini Kemendagri. Kemarin kita telah kesana, pada dasarnya PKS harus saling menguntungkan, dan nanti akan ditunjuk Bakorwil untuk menyelesaikan masalah ini,”ungkapnya.
Menurut politisi PDIP asal Kecamatan Tajinan, selama ini tidak pernah ada aturan baik berupa Peraturan Pemerintah maupun kementerian terkait batas nilai kontribusi pemanfaatan air tanah oleh pihak lain. “Selama ini yang diatur hanya kewajiban bagi pengguna air tanah ke Jasa Tirta sebesar Rp 133,-. Kalau dalam PKS Pemkab dan Pemkot Malang dulu disepakati Rp 80 liter per liter, karena sudah lama kita ingin ada kenaikan dan seharusnya pada 2015 maupun 2018 ada addendum kontrak, tapi kenyataannya sampai sekarang belum ada addendum, dan ini yang akhirnya menyebabkan perselisiihan,” beber Hari Sasongko.
Sementara itu, menanggapi adanya tudingan ‘aneksasi’ Pemkot Malang atas wilayah Kabupaten Malang, yakni Sumber Wendit, pengamat kebijakan publik dari Universitas Brawijaya, Wawan Sobari, S.I.P,MA,Ph.D, mengatakan bahwa jika memang SK atau SIPA yang dikeluarkan oleh Kemen PUPR salah bisa dibatalkan atau di anulir.
“Dalam klaim sengketa wilayah bisa diselesaikan, jika memang SK tersebut salah bisa direvisi. Namun dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Malang harus menyertakan bukti otentik seperti peta wilayah, sertipikat atau data lainnya, yang bisa menunjukkan bahwa wilayah yang disengketakan adalah benar-benar milik Pemkab Malang,”kata Wawan.
Agar ke depan tidak menjadi gambaran buruk, Dosen UB ini berharap, pemerintah pusat bisa lebih selektif dan bijaksana dalam menerbitkan SK. “Agar tidak menjadi preseden buruk, semestinya pemerintah bisa lebih hati-hati dan selektif, agar peraturan atau ketetapan yang dikeluarkan justru tidak menjadi polemik,” pungkasnya. (diy)