Dokter pun Suka Dengan Keris Buatan Empu Fanani
3 min read
MALANG, TABLOIDJAWATIMUR. COM – Kerajinan keris yang dikelola Zainal Fanani, warga Jl. Tumapel No. 67. Kelurahan Pagentan, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur, diminati banyak pihak. Tidak hanya kalangan rakyat biasa, tapi hingga para pejabat. Bahkan, ada juga dokter yang suka dengan keris buatannya.
AWALNYA, Fanani hanya seorang pedagang benda-benda pusaka, baik keris, tombak, maupun batu-batu mulia, semacam akik. Namun sejak 1996, dia mulai belajar membuat keris dan tombak. Hingga sekarang, makin banyak orang yang datag ke Padepokannya, Condro Aji yang dikelolanya di Jl. Tumapel No. 67. Kelurahan Pagentan, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang untuk memesan benda-benda pusaka.
Seperti yang dilakukan salah seorang dokter yang dinas di Pemerintah Kabupaten Malang. Dia sengaja datang ke rumah Empu Fanani yang menjadi satu dengan besalen atau workshop Condro Aji di Singosari untuk membetulkan kerisnya yang rusak. Meski rumahnya berada di sebuah gang sempit, hanya bisa dilewati sepeda motor, namun tak sulit untuk menemui rumah Empu Fanani.
Hampir semua orang, khususnya di sepanjang Jl. Tumapel, Singosari, sudah mengenal Empu Fanani, orang tukang buat keris. “Tadi saya tanya di depan sana, ternyata sudah banyak yang kenal,” kata dokter yang cukup terkenal di Malang ini saat tiba di rumah Fanani, beberapa waktu lalu.

Setelah berbasa-basi sebentar, pak dokter lalu mengeluarkan sebilah keris dari dalam tasnya yang dibungkus dengan tas kresek warna putih. Lalu keris itu diserahkan kepada Empu Fanani. “Ini keris tinggalan kakek saya. Saya minta tolong diperbaiki, karena ada bagiannya yang patah,” katanya.
Dokter yang datang ke rumah Fanani ini adalah sebagian kecil dari ratusan orang yang silih berganti datang ke Padepokan Condro Aji. Ada yang ingin membuat keris, jual beli keris atau tombak, bahkan ada juga yang hanya sekedar membersihkan (menjamasi).
“Awalnya saya hanya jual beli. Sebelum tahun 1996, saya sering ke Surabaya, jual beli pusaka dan batu mulia. Ada keris, tombak, akik, dan sejenisnya. Pada tahun 1996, saya mulai membuat sendiri. Itu setelah saya bertemu dengan seorang empu di Surabaya,” kata Fanani, belum lama ini di rumahnya.
Awalnya, aktivis Gerakan Pemuda Ansor Kecamatan Singosari ini hanya membuat tombak yang sangat sederhana. Ternyata, hasil karyanya diapresiasi para pedagang. Ini membuat Fanani semakin semangat. Lalu kreasinya dikembangkan, tidak hanya membuat tombak tapi juga keris.
“Membuat keris lebih sulit daripada tombak. Kalau tombak kan hanya lurus begitu saja. Paling lama empat hari selesai. Tapi kalau keris lebih sulit dan rumit, apalagi ada lekuk-lekuknya (luknya). Kalau membuat keris pusaka, butuh waktu paling cepat 40 hari. Tapi kalau hanya keris untuk souvenir, satu minggu selesai,” katanya.
Lamanya waktu membuat keris pusaka, menurut Fanani, selain karena secara teknis cara membuatnya memang rumit, juga karena ada ritual yang harus dijalani. “Banyak persiapan yang harus dilakukan sebelum membuat keris. Yang jelas, harus puasa, melakukan ritual-ritual khusus, dan sebagainya,” katanya.
Sedangkan dari sisi bahan, juga harus disiapkan dengan matang. Misalnya, besi, batu meteor, air, arang, dan sebagainya. “Air untuk membuat keris pusaka pun tidak sembarang air. Harus diambil dari sumber-sumber tertentu. Bahkan, bagi orang yang pesan secara khusus, kadang mereka membawa air sendiri dari daerahnya. Kadang mereka pesan supaya kerisnya direndam dengan air yang mereka bawa,” terangnya.
Untuk membuat keris, masih kata Abdi Dalem Keraton Kasunanan Surakarta dengan gelar Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Arum Fanani Notopuro yang didapat pada 2015 ini, dia harus dibantu empat orang. Tugasnya, ada yang bagian memukul, nyetir, dan satu lagi sebagai cantrik.
Lalu, berapa biaya untuk membuat sebuah keris? Fanani tidak menjawab secar tegas. Dia hanya bilang, tergantung tingkat kerumitan dan untuk apa keris itu dibuat. Namun secara sekilas dia sempat menyebut angka, kisaran Rp 1 juta – Rp 5 juta.
Orang yang pesan kepadanya pun dari berbagai strata sosial. Ada masyarakat biasa, ada dokter, pejabat di lingkungan pemerintahan, bahkan ada kepala daerah hingga politisi nasional yang duduk di DPR RI. (mat)