Pemerintah Pusat Harus Bantu Perajin Shuttlecock Dapatkan Bulu Entok
2 min readMALANG, TABLOIDJAWATIMUR.COM – Pemerintah pusat sepertinya harus segera turun tangan untuk mengatasi kelangkaan bulu entok yang menjadi bahan baku shuttlecock, karena sebagian besar barangnya diimpor dari China. Jika tidak, akan berdampak besar terhadap nasib perajin, pedagang, hingga prestasi pemain bulutangkis.
HAL INI disampaikan Kepala Bidang Industri Non Agro pada kantor Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kabupaten Malang, Heri S Ganefo, di sela-sela pembukaan Workshop Sistem Informasi Industri Nasional pada Sub Kegiatan Koordinasi dan Sinkronisasi Pengawasan Perizinan di Bidang Industri Dalam Lingkup IUI, IPUI, IUKI, dan IPKI Kewenangan Kabupaten/Kota, di Hotel Regent Park, Malang, Jawa Timur, Rabu (10/11/2021) pagi.
“Pemerintah pusat harus segera turun tangan, membantu para perajin shuttlecock agar bisa mendapatkan bulu entok dengan mudah dan murah. Sebab, bulu entok inikan diimpor dari China, sehingga hanya pemerintah pusat yang bisa turun tangan dan bisa membantu para perajin,” katanya.
Dalam mengatasi kelangkaan bulu entok seperti sekarang, Heri S Ganefo, mengusulkan dua langkah. Pertama, pemerintah pusat harus segera turun tangan, membantu para perajin agar bisa mendapatkan bulu entok secepatnya. Karena sudah 6 bulan ini mereka kesulitan mendapatkan bahan baku tersebut. “Ini jangka pendek yang harus segera ditempuh,” tandasnya.
Kedua, Indonesia perlu digalakan swasembada bulu entok dengan cara mengajak masyarakat beternak entok. “Ini program jangka panjang. Karena hanya bulu entok yang bisa dipakai untuk shuttlecock. Bulu yang lain tidak bisa. Kalau tidak segera mengambil langka tegas dan jelas, kami khawatir banyak perajin yang tidak produksi lagi. Bahkan Malang sebagai basis cock bakal punah,” tandasnya.
Ganefo menambahkan, di Kabupaten dan Kota Malang, ada 150 – 200 perajin shuttlecock. Khusus di Kabupaten Malang saja, ada sekitar 140 perajin, menyebar mulai dari Kecamatan Lawang, Singosari, Karangploso, Pakis, Pakisaji, dan Kepanjen. Rata-rata, setiap perajin mampu menyerap 5 orang tenaga kerja.
Sedangkan di Jawa Timur, centra cock ada di Malang, Nganjuk, dan Sidoarjo.
“Namun sejak 6 bulan lalu, mereka kesulitan mendapatkan bulu entok yang menjadi bahan utama shuttlecock. Kalaupun ada, harganya mahal. Dalam kondisi normal, harga bulu entok hanya Rp 325.000/kg jenis HF. Dengan harga segini, cock (shuttlecock) masih bisa dijual dengan harga Rp 65.000/slop di tingkat toko (pengecer). Namun sekarang, harga bulu entok mencapai Rp 450.000/kg, sehingga harga eceran cock di toko pun naik menjadi Rp 90.000/slop,” kata Heri S Ganefo.
Ganefo —panggilan akrab Heri S Ganefi— menambahkan, tidak hanya mahal. Bulu entok pun sekarang makin langka. “Sejak 6 bulan lalu, perajin kesulitan mendapatkan bulu entok. Kalaupun ada, jumlahnya terbatas. Sehingga produk cock pun menurun drastis. Bahkan ada beberapa perajin cock yang akhirnya tidak produksi sama sekali karena tidak ada bahan baku,” tandasnya.
Padahal, masih kata Ganefo yang juga punya usaha sampingan sebagai perajin cock ini, dalam kondisi normal, dirinya bisa menghasilkan 20 karton (1.200 slop) cock per minggu. Namun, sekarang produksinya tinggal 8 karton per minggu. “Akibatnya, banyak pelanggan kami di beberapa daerah di Indonesia, menjerit karena stoknya menipis. Mereka terus minta kiriman, tapi apa yang mau dikirim la wong barangnya tidak ada,” tegasnya. (iko/mat)