KUHP Tinggalan Belanda Tak Sejalan Dengan Nilai-nilai Pancasila
3 min readSUBANG, TABLOIDJAWATIMUR.COM – Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) yang saat ini masih berlaku di Indonesia, tidak sejalan dengan nilai-nilai Pancasila karena produk kolonial. Karenanya pengesahan RUU KUHP perlu segera dilaksanakan karena lebih sesuai dengan perkembangan zaman dan nilai- nilai Pancasila.

HAL INI disampaikan Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Antonius Benny Susetyo, saat menjadi narasumber Diklat Pancasila dan Bedah RKUHP Mahasiswa Al-Quran se-Jawa Barat dan Banten yang diadakan Korps Mahasiswa Penghapal dan Pengkaji Al-Quran, Sabtu (27/08/2022).
Diklat yang diadakan secara hybrid di Yayasan Nurul Hidayah, Kampung Guhanaya, Salamjaya, Kecamatan Pabuaran, Kabupaten Subang, Jawa Barat, ini dihadiri juga Prof. Dr. Agus Surono, SH, MH, Guru Besar Ilmu Hukum UAI dan Politisi Nasdem, Muhammad Khairul Amri sebagai narasumber.

“Kitab Undang Undang Hukum Pidana yang saat ini masih berlaku di Indonesia, merupakan produk colonial. Karenanya paradigma yang dipakai adalah paradigma colonial, yang lebih mengutamakan kepentingan yang berkuasa dan mengabaikan hak- hak masyarakat, khususnya ekonomi lemah. Hal ini tidak sejalan dengan nilai-nilai Pancasila. Karenanya pengesahan RUU KUHP perlu segera dilaksanakan, karena lebih sesuai dengan perkembangan zaman dan nilai-nilai Pancasila,” kata Antonius Benny Susetyo.
Benny menjelaskan, proses pembaruan KUHP ini memakan waktu panjang, selama 25 tahun. Perkembangan dalam masyarakat dan proses politik membuat RUU ini susah dan alot sekali untuk segera disahkan. Padahal keberadaan KUHP yang baru sangat dibutuhkan masyarakat, karena KUHP yang lama warisan Belanda. Bahkan sudah tidak digunakan di negara asalnya.
“KUHP tersebut dibuat untuk mengakomodir kepentingan penjajah dan tidak lagi relevan dengan keadaan bangsa ini. Sehingga terjadilah apa yang disebut hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Dan, rasa keadilan yang merupakan hak seluruh lapisan masyarakat hanya bisa dinikmati sekelompok masyarakat. Sistem restorative justice yang diterapkan KUHP baru ini nantinya juga mengubah paradigma hukum pidana zaman colonial yang tujuannya semata-mata untuk menghukum menjadi upaya mengembalikan tatanan yang terganggu akibat perbuatan pidana,” terangnya.
Terkait isu kontroversial dalam KUHP baru, seperti penghinaan terhadap simbol negara, menurut Benny, isu mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) yang selalu dibenturkan dengan RKUHP ini, pelaksanaannya bukan tidak terbatas. HAM dihormati, namun tetap dibatasi oleh hak orang lain.
“Kita berhak mengkritik kepala negara dan pemerintah. Namun dalam pelaksanaannya harus sesuai dengan norma sopan santun dalam masyarakat, dan fokus pada substansi, bukan melakukan penghinaan dan serangan personal. Jadi, debat yang membenturkan RKUHP dengan HAM tidak lagi relevan, karena hak asasi manusia yang benar adalah hak yang tidak mengganggu manusia lain. KUHP dan hukum secara umum hadir untuk mencegah terjadinya gangguan terhadap hak seluruh manusia dan menciptakan tatanan masyarakat yang tertib dan damai,” jelasnya.
Menurut Benny, BPIP secara aktif juga terlibat dalam perancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana ini, khususnya terkait dalam pengimplementasian nilai-nilai Pancasila dalam KUHP. Hal Ini dilaksanakan karena KUHP sebelumnya merupakan saduran dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlands-Indië yang pengesahannya dilakukan melalui Staatsblad Tahun 1915 nomor 732 dan mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1918. Ini menunjukkan KUHP yang sekarang berlaku berasal dari masa pra-Pancasila, dan diperlukan kajian yang khusus dan mendalam mengenai sudahkah terjadi implementasi nilai- nilai Pancasila dalam RUU KUHP yang baru.
“Kita perlu mendorong segera disahkannya RKUHP menjadi undang undang agar rasa keadilan dalam masyarakat dapat benar-benar terwujud,” pungkasnya. (mat)