Dosen Unisma Latih Warga Batu Buat Pupuk Dari Limbah
2 min readMALANG, TABLOIDJAWATIMUR.COM – Limbah pertanian dan peternakan yang selama ini dibuang begitu saja karena dianggap tak berguna, ternyata sangat bermanfaat. Setelah diolah oleh Tim Dosen Universitas Islam Malang (Unisma), limbah ini bisa menjadi kompos untuk tanaman holtikultura.

KETUA Tim PKM Unisma, Prof. Dr. Ir. Nurhidayati, MP, menjelaskan, untuk merubah limbah pertanian dan peternakan menjadi kompos, dia menggunakan bantuan cacing lumbricus rubellus yang kemudian disebut sebagai vermikompos itu.
“Cacing dipilih karena merupakan pemakan sersah. Cacing juga bisa dibudidayakan dan masih bisa hidup ketika dibawa ke atas tanah. Jadi tidak seperti cacing tanah lainnya,” demikian penjelasan Prof. Dr. Ir. Nurhidayati, MP, melalui rilis yang diterima redaksi tabloidjawatimur.com dari Humas Unisma, belum lama ini.
Dalam rilis itu juga dijelaskan mengenai adanya tambahan bahan tepung ikan dan tepung cangkang telur di vermikompos buatan Nurhidayati. “Tepung ikan kaya fosfor. Sedangkan cangkang telur mengandung kalsium tinggi. Jadi, vermikompos ini memperkaya nutrisi tanaman dengan kalsium dan fosfor agar kualitas buah dan sayuran lebih baik,” tuturnya.
Vermikompos dengan bahan adiftif alami tersebut juga sudah dipatenkan. Produk itu sudah diaplikasikan pada tanaman holtikultura di Kecamatan Karangploso, Kabupaten Malang, dan di Desa Landungsari, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, serta di sekitar kampus Unisma. Bahkan sudah diuji coba pada sistem budidaya hidroganik.
“Hasilnya bagus. Kalau diuji coba di jagung manis, jagungnya terasa lebih manis dibandingkan menggunakan pupuk biasa. Bila diuji coba pada sayuran, kandungan vitamin C, mineral, dan antioksidannya lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan pupuk organik. Bahkan bisa memberikan efek residu 3 kali tanam berikutnya tanpa menambahkan pupuk lagi,” tegasnya.
Dosen Pertanian Unisma ini menambahkan, produksinya butuh waktu sekitar 1,5 bulan untuk menghasilkan 1 ton vermi kompos. Sebab, ada kendala tempat produksi yang masih di dalam laboratorium, sehingga tidak bisa produksi banyak. Bila petani ingin memproduksi skala besar di lahan, bisa dirancang menggunakan tempat penimbunan bahan organik di dalam tanah. Untuk 1 hektar lahan butuh sekitar 10-20 ton vermikompos, tergantung tingkat kesuburan tanahnya.
“Kendalanya masih pada tenaga. Selama ini kami hanya melibatkan mahasiswa dan belum fokus produksi untuk komersiil skala besar. Padahal Kemenristekdikti sudah memberi paten dan berharap segera diproduksi massal karena hasilnya bagus,” terang Nurhidayati.
Penelitian vermikompos masih terus dilanjutkan untuk membuat multipurpose vermikompos dengan tambahan biopestisida. Sehingga tanaman tidak hanya mendapat nutrisi dari pupuk organik vermikompos, tetapi juga lebih tahan terhadap serangan hama. Produk baru ini diberi nama MPV (multipurpose vermicompost).
MPV juga telah diuji coba pada tanaman sayuran, tomat, melon, dan strawberry. Hasilnya? “Mampu meningkatkan kualitas sayuran dan buah tersebut,” pungkas Nurhidayati seraya menjelaskan, dalam proyek ini ia dibantu Dr.Ir.Sunawan,MP, dan Dr. Sama’Iradat Tito, S.Si., M.Si, sebagai anggota. (div/mat)