Staf Khusus BPIP : Pancasila Benteng Tangguh Menjaga NKRI
4 min readJAKARTA, TABLOIDJAWATIMUR.COM – Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Romo Antonius Benny Susetyo, menegaskan, Pancasila merupakan benteng tangguh terakhir penjaga NKRI dari intoleransi dan radikalisme.

HAL INI dia sampaikan saat menjadi narasumber Dialog Kebangsaan dan Deklarasi Kesiapsiagaan Nasional dengan tema “Membangun Sinergi, Cegah, dan Deteksi Dini Ancaman Terorisme Berbasis Pemberdayaan Masyarakat” yang diselenggarakan Badan Nasional Pemberantasan Terorisme (BNPT) di Grand Borobudur Hotel, Jakarta, Selasa (02/08/2022).

Dalam acara ini, BNPT menggandeng beberapa tokoh masyarakat, pimpinan dan Stafsus BPIP dalam rangka menindaklanjuti rencana aksi nasional pencegahan dan penanggulangan ekstrimisme berbasis kekerasan yang mengarah kepada terorisme tahun 2020 – 2024 (RAN-PE) dalam ikut berperan menanamkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Seminar secara Luring ini dihadiri Wakil Menteri Dalam Negeri, Kepala BNPT, Staf Khusus Dewan Pengarah BPIP, Deputi Bidang Penindakan dan Pembinaan Kemampuan, tokoh NU Alysa Wahid, Psikolog Dr. Arijani Laksmawati, M.Psi, Kementerian Pemberdayaan Perempuan, Kementerian Pedesaan, Badan Intelejen Negara, Forum Kesbangpol Kabupaten/Kota dan Ketua Forum Kewaspadaan Kabupaten/Kota, serta undangan lainnya.
Dalam sesi dialog kebangsaan, Antonious Benny Susetyo, menyatakan, Pancasila bisa menjadi perisai dalam menjawab masalah yang terjadi saat ini di Indonesia, yaitu keretakan hidup berbangsa dan bernegara. Masalah saat ini yang sering terjadi dalam masyarakat yaitu mayoritas minoritas, politik identitas, serta fundamentalisme yang menyebar melalui media sosial.
“Oleh karena itu dibutuhkan kesadaran literasi digital untuk menyatukan empat komponen, yaitu pemerintah, perguruan tinggi, media, dan masyarakat untuk bersama-sama memerangi bahaya intoleransi maupun radikalisme kepentingan bangsa dan negara, ” tegas Benny.
Menurut Benny, “Kita harus berkolaborasi merebut ruang publik. Karena hampir 120 juta pengguna gadget di Indonesia sering menggunakan medsos tanpa memiliki kesadaran kritis apakah konten itu bisa menghancurkan keutuhan hidup bangsa. Kesadaran terhadap literasi digital yang lemah itu membuat kita lebih bisa dimanipulasi. Di sini kekuatan sinergi sangat penting dalam membangun konten yang mempengaruhi perilaku. “
Lebih lanjut Benny menjelaskan, “Untuk melawan itu, kita tidak mungkin melawan kecuali kita memiliki benteng, yaitu Pancasila. Bangsa Indonesia harus bersyukur memiliki Pancasila. Andai kata Pancasila tidak dimiliki oleh bangsa Indonesia, maka saat COVID, bangsa ini menjadi hancur. Anak-anak di zaman dulu itu doktrinal. Tapi sekarang sudah tidak bisa lagi. Saat ini anak-anak harus menciptakan konten-konten yang harus beridentitas. Bagaimana kita bangga terhadap produk dalam negeri, dan itu harus dikapitalisasi menjadi kekuatan. Anak-anak sekarang memiliki tempat ekspresi yang terbatas. “
Dahulu anak terbiasa dengan permainan tradisional. Tapi sekarang dikuasai oleh gadget. Maka seyogyanya kembalikan pendidikan keluarga itu, karena penting. “Mulai sekarang, mari hidupkan tradisi lokal untuk melawan radikalisme. Budayakan kritis yang positif untuk membedakan mana yang baik dan buruk dalam media sosial. Manusia hanya satu dimensi, yaitu mekanis teknologi. Pendidikan literasi digital harus masuk ke dalam pendidikan. Literasi digital juga harus masuk dalam keluarga maupun dalam pra perkawinan”, tutup Benny.
Saat membuka acara, Ketua BNPT, Komjen Pol Dr. Boy Rafli Amar, MH, menyatakan, terorisme merupakan kejahatan yang anti dengan ideologi Pancasila. “Kita akan melihat teroris menghalalkan semua cara untuk mengupayakan kekerasan dalam aksinya. Bangsa Indonesia harus memiliki identitas dan memiliki legacy para pendiri bangsa,” katanya.
Boy berpendapat, “Kita harus kokoh mencegah intoleransi dan terorisme yang sekarang mewabah bagai virus COVID-19. BNPT update terhadap kasus kekerasan di negara ini, terutama dengan motif deduksi politik. Jangan sampai dunia dikuasai oleh orang yang tidak bertanggung jawab., ” tegasya.
Sedangkan Wakil Kementerian Dalam Negeri, John Wempi Wetipo, menyatakan, ekstirimisme merupakan benih terorisme. Itu dipengaruhi dengan cara berpikir. Pencegahan terorisme merupakan agenda pemerintah dalam memberikan negeri yang aman dan damai. Semua itu sudah diwujudkan melalui upaya komprehensif memberantas terorisme.
Menurut Wempi, sebagaimana dinamika sospol saat ini memberi dampak berbangsa bernegara. Banyaknya tuntutan aksi berlebihan, primordialisme, serta aksi separatis anarkis, memunculkan dampak instabilitas nasional. Banyak konflik yang muncul, yaitu konflik bernuansa suku, agama, dan golongan. Apalagi di beberapa tahun ke depan akan dilaksanakan Pemilu 2024.
“Semakin tinggi dinamika, maka akan memunculkan masalah di dalamnya. Ketenteraman dan ketertiban merupakan tujuan output yang saling berkait keseluruhan. Perlu upaya dan langkah dan strategi dari pemerintah, yaitu dengan deteksi dini di dalam masyarakat di daerah dengan melibatkan masyarakat yang ada di dalam NKRI,” tandas Wempi.
Sedangkan Alysa Wahid, menyatakan, Indonesia masih menjadi barometer kerukunan dunia dan selalu mendapatkan aspirasi positif. Bahkan menjadi model bagi kerukunan umat beragama. Namun persoalan akhir-akhir ini maraknya intoleransi, radikalisme, fundamentalisme, dan kekerasan berdarah.
“Agama itu menjadi catatan kita bersama bagi elemen bangsa untuk lebih waspada serta lebih meningkatkan kewaspadaan dalam menjaga keutuhan hidup berbangsa dan bernegara. Karena ada indikasi praktek intoleransi itu mulai berkembang (menyebar) di elemen masyarakat. Apalagi dengan maraknya media sosial yang kerap kali mengangkat isu-isu toleransi, radikalisme, fundamentalisme menjadi konten-konten di media sosial yang mempengaruhi pola pikir anak-anak generasi muda sekarang. Akibatnya, masyarakat mudah terprovokasi,” tutur Alysa. (mat)