17 April 2025

`

Biar Merata, Dinas Pendidikan Harus Berani Mutasi Guru

3 min read

MALANG, TABLOIDJAWATIMUR. COM – Sistem zonasi dalam PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) yang mulai dilaksanakan tahun 2019 ini, banyak kelemahan. Seperti tidak dipakainya standar nilai Ujian Nasional (UN), membuat semangat siswa dan tenaga pendidik kendor. Selain itu, kualitas fasilitas pendidikan yang tidak merata justru menimbulkan kesenjangan.

 

 

Ketua Komisi 1 DPRD Kabupaten Malang, Drs. Didik Gatot Subroto.

MENYIKAPI masalah ini, Ketua Komisi I DPRD Kabupaten Malang, Drs. Didik Gatot Subroto, mendesak Dinas Pendidikan agar berani melakukan distribusi tenaga pendidik secara merata.

“Ini bisa dikatakan program baru dari pemerintah pusat, yang memiliki kelemahan dan kekurangan, Dinas Pendidikan harus melakukan evaluasi terhadap sistem zonasi ini,” katanya,  Selasa (11/05/2019).

Menurut Didik, sejatinya, sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun ajaran 2019 yang dicanangkan pemerintah pusat ini  bertujuan untuk pemerataan mendapatkan hak pendidikan yang sama. Sebab, selama ini memang ada sekolah unggulan dan sekolah yang bukan unggulan .

Dengan predikat sekolah unggulan, otomatis sekolah tersebut menjadi sekolah favorit, karena kualitas pendidikan yang lebih baik. Para siswa maupun orang tua siswa pun kebanyakan lebih memilih sekolah unggulan, meski ujian masuk tergolong berat. “Sehingga ada kesan, sekolah unggulan adalah tempatnya anak pandai,” katanya.

Untuk menghapus stigma tersebut, masih kata politisi PDIP ini, pemerintah menerapkan sistem baru dalam PPDB tahun ajaran 2019, yakni sistem zonasi.  Sistem ini untuk mengakomodir calon siswa yang tempat tinggalnya berdekatan dengan sekolah yang ada, dan memperkecil peluang calon siswa sekolah di luar tempat tinggalnya.

“Sebelumnya, apabila calon siswa mempunyai nilai UN bagus, bisa mendaftar ke sekolah favorit di manapun berada,  meski berbeda wilayah kecamatan dengan tempat tinggalnya. Kini,  hal itu tidak bisa dilakukan lagi. Hal  ini  yang dikeluhkan  masyarakat. Belum lagi kualitas fasilitas pendidikan yang belum merata,  sehingga menimbulkan permasalahan tersendiri,” kata Didik.

Menurut Didik, ada beberapa kelemahan dalam penerapan sistem zonasi. Misalnya,  tidak dipakainya standar nilai UN, akhirnya membuat semangat siswa dan tenaga pendidik kendor. “Mereka akhirnya beranggapan, untuk apa belajar giat jika nanti toh memasuki sekolah yang sama. Hal ini jika dibiarkan tentu sangat tidak baik bagi perkembangan belajar siswa,” ujarnya.

Selain itu, dengan sistem baru ini, tanpa dibarengi dengan pemerataan kualitas fasilitas pendidikan,  seperti tenaga pendidik berstatus ASN, justru akan menimbulkan kesenjangan kualitas pendidikan. Pasalnya, di Kabupaten  Malang, guru berstatus ASN biasanya terkonsentrasi di daerah perkotaan,  seperti Kepanjen. Rata-rata guru ASN untuk satu lembaga sekolah setingkat SD terdiri dari enam orang. Hal ini berbanding terbalik dengan daerah pinggiran,  seperti di Sumbermanjing Wetan, dimana satu lembaga sekolah negeri, guru berstatus ASN hanya satu atau dua orang.

“Makanya  Dinas Pendidikan harus melakukan pemetaan jumlah lembaga sekolah, guru maupun fasilitas pendidikan. Kemudian harus berani melakukan distribusi secara merata ke semua daerah. Misalnya, di sebuah sekolah unggulan tertentu ada beberapa guru ASN yang mempunyai kualitas bagus, maka harus dipecah, dipindah ke sekolah lain yang kekurangan guru,” jelas Didik.

Dia pun menegaskan, dengan gaji dan tunjangan, maupun fasilitas lain yang diterima oleh guru ASN, maka tidak ada alasan bagi mereka untuk menolak dimutasi. “Mereka kan sekarang tingkat kesejahteraannya semakin meningkat. Apalagi dengan tunjangan sertifikasi, harusnya tidak ada lagi alasan bagi mereka menolak dipindah ke pinggiran,” tegasnya. (diy)