Produksi Bahan Pangan Indonesia Rendah
2 min readMALANG, TABLOIDJAWATIMUR.COM – Tingkat produksi bahan pangan pokok di Indonesia sangat rendah dari tahun ke tahun. Import bahan pangan pokok, seperti beras, jagung, kedelai, gula, dan daging cukup tinggi. Bahkan, index ketahanan pangan Indonesia masih lemah dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Meskipun beberapa tahun ini mengalami peningkatan, Indonesia masih berada di peringkat tengah.

HAL INI disampaikan Dosen Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Dr. Jangkung Handoyo Mulyo, M.Ec., saat menjadi nara sumber pada Kolokium Doktor Fakultas Pertanian dan Peternakan (FPP) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Jawa Timur, Sabtu (13/03/2021) yang membahas kondisi agribisnis di Indonesia melalui kanal Zoom dan Youtube Agribisnis UMM.
Menurut Dr. Jangkung Handoyo Mulyo, M.Ec., tingkat produksi bahan pangan pokok di Indonesia sangat rendah dari tahun ke tahun. Import bahan pangan pokok, seperti beras, jagung, kedelai, gula, dan daging cukup tinggi.
“Tahun 2019, produksi padi di Indonesia hanya tumbuh 0,31%, sementara produksi padi dunia bertumbuh 1,25%. Di produksi kedelai, Indonesia hanya bertumbuh 2,08%, sementara produksi kedelai dunia mencapai 4,1%,” terangnya.
Jakung menjelaskan, index ketahanan pangan Indonesia masih lemah dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Meskipun beberapa tahun ini mengalami peningkatan, Indonesia masih berada di kisaran peringkat tengah.
“Pada Global Food Security Index 2019, ketahanan pangan Indonesia menempati posisi ke 62 dari 113 negara. Sementara Singapore menempati posisi pertama dalam daftar tersebut. Hal ini seharusnya memacu kita untuk meningkatkan akses dan ketersediaan pangan di Indonesia untuk kedepannya,” kata Jakung.
Dalam gelaran kolokium tersebut hadir pula tiga pemateri, Dr. Ir. Istis Baroh, M.P., Dr. Ir. Rahayu Relawati, M.M. serta Dr. Ir. Bambang Yudi Ariadi, MM.
Bambang mengungkapkan, Indonesia memiliki beberapa permasalahan di bidang agribisnis. Pertama, lemahnya keterkaitan antar masing-masing pelaku agribisnis. Kedua, masih menggunakan cara-cara konvensional dalam pengembangannya. Terakhir, jumlah petani kecil dengan lahan kurang dari satu hektar sangat dominan.
“Untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut diperlukan sinkronisasi antara pelaku agribisnis dari hulu sampai hilir. Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga akan mendorong perkembangan agribisnis di Indonesia. Selain dapat memperbaiki perekonomian Indonesia, agribisnis yang baik juga akan membuka banyak lowongan pekerjaan di Indonesia,” ujar Dosen FPP tersebut.
Di lain kesempatan, Dr. Ir. David Hermawan, M.P., IPM. selaku Dekan FPP berharap, acara kolokium doktor ini dapat menjadi penerang hati masyarakat. Selain itu juga bisa membuat pembangunan agribisnis nasional menjadi berdikari dan mandiri. “Semoga acara ini dapat menjadi pengubah dan penggerak agribisnis nasional. Paling tidak dapat mengurangi permasalahan-permasalahan pangan di Indonesia,” tandasnya. (div/mat)