
MALANG, TABLOIDJAWATIMUR.COM – Merebaknya pandemi COVID-19 yang terjadi sejak Maret 2020, sangat mengganggu roda perekonomian masyarakat. Hal ini pun dirasakan kalangan eksportir. Bahkan, secara umum, realisasi nilai ekspor Kabupaten Malang, Jawa Timur, pada tahun 2020 hanya US$.371.221.992,73. Turun 22,8%. Padahal tahun 2019 bisa tembus US$.481.039.000,32.
KEPALA Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Malang, Dr. Agung Purwanto, MSi, menjelaskan, turunnya nilai ekspor ini wajar, mengingat, dampak pandemi COVID-19 menjalar di semua sektor. “Tidak hanya kesehatan, sektor perekonomian pun kena dampaknya, termasuk ekspor impor kita. Bahkan, tahun 2020 lalu, kami sempat membebaskan pembayaran retribusi pasar bagi pedagang yang berjualan di pasar tradisional untuk meringankan beban mereka,” katanya, Senin (15/11/2021).

Terkait ekspor, Agung Purwanto menjelaskan, realisasi nilai ekspor Kabupaten Malang tahun 2020 sebesar US$.371.221.992,73. Sedangkan realisasi nilai ekspor tahun 2019 sebesar US$.481.039.000,32. “Dengan demikian mengalami penurunan sebesar US$.109.817.007,59 atau turun 22,8 %,” terangnya.
Tidak hanya dari nilai, dari sisi volume juga mengalami penurunan. Pada tahun 2020, volume ekspor kabupaten terluas kedua di Provinsi Jawa Timur setelah Banyuwangi ini sebesar 102.187.762,87 Kg. Sedangkan volume ekspor tahun 2019 sebesar 287.219.445,87 Kg. Dengan demikian mengalami penurunan sebesar 185.031.683,00 kg atau turun 64,4 %.
Mantan Kepala Bagian Perekonomian Pemerintah Kabupaten Malang ini menjelaskan, dampak pandemi COVID 19 memang luar biasa. Semua aktivitas perekonomian mengalami dampak yang sangat luar biasa. “Semua perekonomian mengalami penurunan. Hampir semua negara tujuan ekspor membatasi barang masuk. Di sisi lain, permintaan juga menurun. Hal ini dialami semua negara,” tandasnya.
Disperindag Kabupaten Malang mencatat, ada 34 produk dari Kabupaten Malang yang dieskpor. Di antaranya, kulit, kerajinan kayu, kerajinan rotan, kerajinan alumunium, mebeler, tekstil, kopi, kakao, sepatu, kertas linier, audio & TV cabinet, kampas rem, bantalan kursi busa, plaster obat, sayur, kayu, makanan olahan, kertas rokok, cairan obat, botol kemasan, rokok, udang, kendang perkusi, cairan infus, cengkeh, obat gel, selai buah, home decoration, gely alga, garden furnture, kayu moulding, kosmetik, alkoho, susu.
Dari 34 produk ekspor tersebut, terdapat 10 besar komoditas yang mendominasi ekspor Kabupaten Malang tahun 2020. Di antaranya, cengkeh, volumenya 15.050.821,75 kg, nilainya US$ 130.524.090,94. Rokok, volumenya 8.250.365,00 kg, nilainya USD 97.167.441,22. Udang, volumenya 4.727.530,00, nilainya USD 36.145.565,00. Cairan Obat, volumenya 6.606.733,48 kg, nilainya USD 33.033.667,40. Kopi, volumenya 9.596.014,00, nilainya USD 17.524.612,50, serta beberapa produk lainnya.
COVID Tak Pengaruhi Impor
Pandemi COVID 19 yang terjadi sejak Maret 2020, memang berpengaruh terhadap nilai dan volume ekspor Kabupaten Malang, Jawa Timur, tahun 2020. Namun dari sisi impor justru naik hingga 48,7%. Dari 22 komoditas impor, yang paling banyak volume dan nilainya adalah bahan penolong rokok.
Dr. Agung Purwanto, MSi, menjelaskan, realisasi nilai impor Kabupaten Malang tahun 2020 sebesar US$ 72.909.265,30. Sedangkan nilai impor tahun 2019 sebesar hanya sebesar US$ 49.018.951,04. “Dengan demikian nilainya mengalami kenaikan sebesar US$ 23.890.314,26 atau naik 48,7 %,” katanya.
Untuk volume impor tahun 2020, sebesar 122.444.477,71 Kg. Sedangkan volume impor tahun 2019 sebesar 56.160.262,20 Kg. “Sehingga mengalami kenaikan sebesar 66.284.216 Kg atau naik 1,8 %,” katanya.
Disperindag mencatat, pada tahun 2020, ada 22 komoditas impor. Dari 22 komoditas tersebut, yang paling banyak adalah bahan penolong rokok. Sampai akhir triwulan IV tahun 2020, volumenya mencapai 92.518.441,68 kg, dengan nilai US$ 22.367.857,04. Posisi kedua yang paling banyak diimpor adalah bahan penolong pengemasan. Volumenya 24.695.317,52 kg, dengan nilai US$ 14.011.143,00.
“Naiknya volume dan nilai impor Kabupaten Malang pada 2020 ini, karena bahan baku untuk produksi memang sangat dibutuhkan. Sedangkan ketersediaan bahan baku di dalam negeri sedang menipis atau mungkin tidak ada. Sehingga mau tidak mau harus impor supaya produksi tetap jalan,” ujarnya. (bri/mat)