19 April 2025

`

Tekuni Shuttlecock Sejak 1979

2 min read
Juri dengan cock hasil kerajinannya.

Sore itu, suasana Dusun Biru tampak tenang. Hawanya sejuk, segar bahkan cenderung dingin. Di sebuah rumah yang letaknya terpencil, Juri sedang membuat shuttlecock. “Menyelesaikan pesanan dari Blitar. Mereka minta kiriman 200 slop seminggu. Tapi saya tak mampu, karena kekurangan tenaga kerja,” katanya.

Ya, meski persaingan bisnis shuttlecock cukup ketat, tapi peluang usaha di bidang ini masih terbuka lebar. Buktinya, Juri terpaksa “menolak” pesanan karena ketidakmampuan tenaga kerja. “Kalau tenaga kerjanya ada, saya berani melayani,” ujarnya.
Selama ini, pria beranak 3 ini membuat cock dengan cara tradisional, menggunakan tenaga manusia. Kalaupun ada peralatan, masih sangat sederhana. “Hanya ada 4 tenaga kerja. Andai saja saya punya mesin luk, mesin pasang, walau manual, saya sanggup melayani pesanan 200 slop dari Blitar itu. Tapi karena masih menggunakan tenaga kerja manusia, akhirnya tak bisa melayani. Itu pun tenaga kerjanya terbatas,” jelasnya.

Sejak 1979
Juri memang sudah lama bekerja di industri shuttlecock, sekitar 24 tahun, terhitung sejak tahun 1979 di pabrik Saxon, Blimbing, Kota Malang, Jawa Timur. Tahun 1994 ia keluar dari Saxon, pindah ke pabrik lain, London, masih di Kota Malang. Di sini pun tidak lama, hanya 3 tahun. “Tahun 1997 saya keluar, karena terjadi krisis moneter. Perusahaan agak kelimpungan,” ujarnya.
Keluar dari pabrik cock, Juri mencoba peruntungan dengan menganyam kursi dari rotan. Tapi tidak lama, karena hasil yang didapat tidak bisa maksimal. Boleh dibilang, pekerjaan barunya ini tidak cocok, hingga akhirnya dia mengambil keputusan untuk membuat cock sendiri. Akhirnya, di tahun 2008, niat itu ia mulai.
“Waktu itu saya hanya melayani pesanan dari pabrik di Lawang, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Tapi karena sistem kerjasamanya saya anggap tak menguntungkan, akhirnya saya putuskan untuk membuat merek sendiri. Lalu saya berunding dengan anak pertama saya. Dia setuju. Lalu kami sepakat membuat cock dengan merek sendiri. Namanya : Cock Nur Rohmad,” terangnya.
Sejak saat itu, dia pun membuat cock sendiri dengan merek sendiri hingga sekarang. Saat ini cock produk Nur Rohmad dijual dengan harga Rp 60 ribu per slop. “Harganya memang agak mahal, tapi kualitasnya sangat bagus. Saya lebih cocok pakai cock ini. Meski mahal sedikit tapi puas. Dari pada beli cock murah tapi banyak yang tidak bisa dipakai,” kata Hanan, penghobi bulutangkis.
Hanan menjelaskan, saat ini memang banyak cock dengan segala mereknya. Harganya pun bervariasi. Ada yang Rp 45 ribu per slop, ada yang Rp 50 ribu dan sebagainya. Tapi saya tetap cocok pakai Nur Rohmad. Dari 12 cock isi satu slop, hampir semuanya bisa dipakai. Tidak ada yang mbuang sama sekali,” jelasnya.
Dengan usahanya ini, Juri mengaku bisa menyekolahkan ketiga anaknya dan mencukupi kebutuhan keluarganya. Cuma yang jadi kendala sekarang adalah soal harga bulu yang tidak stabil, bahkan cenderung naik terus. Selain itu ketersediaan bulu pun tidak menentu. Ini yang membuat banyak perajin cock pusing.*