Tangis Orang Tua Korban Tragedi Kanjuruhan Pecah Saat Sidang
2 min readSURABAYA, TABLOIDJAWATIMUR.COM – Suasana sedih dan derai air mata mewarnai sidang lanjutan Tragedi Kanjuruhan, Kepanjen, Kabupaten Malang, Jawa Timur, di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Selasa (24/01/2023) siang.
SIDANG lanjutan itu mengadili dua terdakwa, Abdul Haris selaku Ketua Panitia Pelaksana (Panpel) dan Suko Sutrisno selaku petugas keamanan dan keselamatan (Safety dan Security Officer).
Jaksa Penuntut Umum (JPU), Hari Basuki dari Kejati Jatim bersama Jaksa dari Kejaksaan Negeri Malang, menghadirkan tiga orang saksi. Mereka adalah Devi Atok Yulfitri, orang tua korban Natasya Debi Ramadnani dan Nayla Debi Anggraeni serta mantan istrinya, Anggraeni, Edi Utomo, anggota steward, dan Ahmad Hadian Lukita, Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru (LIB).
Devi Atok Yulfitri menjelaskan, saat itu ia mau menjemput kedua anaknya yang nonton pertandingan antara Arema FC dan Persebaya Surabaya. Kedua buah hatinya yang masih berusia 16 tahun dan 13 tahun itu, nonton bersama mantan istri dan ayah tirinya.
“Namun anak saya sudah meninggal akibat kena gas air mata. Posisinya ada di tribun berdiri, di tribun 13 Yang Mulia,” kata Devi sesenggukan menahan tangis di hadapan majelis hakim. Sontak suasana sidang terbuka itu pun hening.
Sebelumnya, Devi Atok Yulfitri mendapatkan kabar dari temannya, bahwa anaknya sudah meninggal di tribun 13. Devi disuruh temannya untuk menelpon anaknya yang bernama Naila, tetapi tidak ada jawaban. Ternyata sudah meninggal dan tergeletak, dinaikkan truk, dibawa ke rumah sakit.
Ia melihat banyak korban meninggal yang tergeletak di jalanan. Ada yang sudah meninggal dibonceng bertiga naik motor seperti kambing. “Saya sedih ketika melihat kedua anak dan mantan istri sudah meninggal. Sudah gosong dan hitam semuanya. Dari telinga dan mulut keluar busa. Wajahnya tidak bisa dikenali, kalau tidak tahu dengan baju yang dipakainya,” jelasnya sedih.
Masih kata Devi, saat dimandikan, mayatnya tidak ada bekas pukulan apapun. Hanya mengeluarkan busa bau amonia dari hidung, mulut, dan kuping. “Waktu ikut memandikan, dari ujung rambut sampai kaki tidak ada luka-luka atau bekas pukulan. Tetapi mengeluarkan cairan bau amonia dari hidung, mulut, dan telinga dengan warna biru dan hitam,” jelasnya mempertegas bahwa anaknya tewas bukan karena penganiayaan atau pukulan.
“Saat itu di Rumah Sakit Saiful Anwar Malang, saya bertemu dengan Presiden Jokowi. Saat ditanya apa harapan kamu yang diinginkan, saya mengatakan memberikan hukuman yang seberat-beratnya yang telah membunuh anak saya. Dan dikatakan oleh Pak Jokowi ‘ya’,” terang saksi dengan nada terbata-bata berlinang air mata. (adi/mat)