29 Maret 2024

`

Sunan Bonang dan Pendeta Hindu di Pesisir Tuban

4 min read
Sunan Bonang dan karomah air sumur Srumbung.

Karomah Air Sumur Srumbung

Tongkat Kanjeng Sunan Bonang dipukul-pukulkan ke tanah beberapa kali, sejurus kemudian dari tanah itu keluar air yang semakin lama semakin membesar. Ketakjuban Pendeta Hindu dari Hindustan semakin tak terbendung, menyusul ratusan buku miliknya yang keluar dari dalam tanah bersama air. Cerita pun tercipta, kalau muasal sumur tersebut lantaran Kanjeng Sunan yang memukul-mukulkan tongkat saktinya ke dalam tanah sampai beberapa kali. Siapa sejatinya Sangkya Kitri ?

 

KECERDASAN otak Kanjeng Sunan Bonang tersiar sampai ke manca negara, hingga ke Hindia. Di negara yang mayoritas penduduknya memeluk agama Hindu itu, ada seorang pendeta yang tinggal di Hindustan, dia bernama Sangkya Kitri. Kemashuran nama Kanjeng Sunan Bonang lantaran kepintarannya dalam babagan ilmu agama Islam yang dimilikinya, juga sampai ke telingganya. Sang pendeta pun takjub, mengapa banyak orang yang beralih dari agamanya dan berganti memeluk Islam, hingga membuat agama itu bisa berkembang begitu pesat di tlatah Tuban, Jatim dimana Kanjeng Sunan Bonang berada. Ketakjuban sekaligus kebencian pun akhirnya menyeruak menguasai pikirannya.

Dirinya lalu mengasingkan diri di tempat yang sangat sepi dan terpencil sampai beberapa bulan lamanya. Di tempat itu, selain menjalankan ritual agama yang dipercayai, Sangkya Kitri juga belajar dengan cara membaca berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus buku berbagai judul. Hatinya sudah terlanjur meradang. Manakala semua buku yang dia tahu sudah dilalap habis, dirinya ingin beradu pintar sekaligus sakti dengan Kanjeng Sunan Bonang.

Seiring berjalannya waktu, ambisi untuk mempelajari semua buku dari bermacam disiplin ilmu itu sudah habis ia baca. Sangkya Kitri pun mulai mempersiapkan diri untuk berlabuh ke pelabuhan Tuban dengan naik perahu. Perbekalan yang maha banyak pun dia persiapkan. Dan pastinya ratusan buku yang telah dia pelajari itu, juga ikut dibawanya. Air laut yang tenang, membuat perjalanan Sangkya Kitri tak menemui hambatan berati. Dia pun dengan tenangnya mengemudikan perahunya.

Nah, manakala perjalanan telah mendekati pantai Tuban, tiba-tiba ombak besar menghadang. Sang Pendeta tak lagi bisa mengemudikan perahunya dengan baik. Besarnya ombak, mengalahkan segelanya. Perahu yang dia naiki terombang-ambing oleh ombak dan akhirnya hancur setelah menabrak batu karang. Ratusan buku dan perbekalan yang ada dalam perahu pun tercerai berai, hanyut terbawa air laut. Tapi Allah SWT masih berbaik hati sama Sangkya Kitri. Pendeta ini dengan sisa-sisa tenaga yang masih dimiliki dan baju yang sudah compang-camping, terus menyelamatkan diri dengan cara berenang,dan akhirnya sampailah dia ke pinggir pantai.
Terdampar di Pesisir

Berhari-hari Sangkya Kitri terdampar di pinggir pesisir. Dirinya tak mengerti harus berbuat apa, karena seluruh perbekalan yang dia miliki termasuk buku-buku yang sudah dibacanya, semuanya hanyut terbawa air, seiring ombak besar yang menghantam perahunya hingga pecah berkeping-keping. Namun demikian, niat untuk beradu ilmu sekaligus kesaktian dengan kanjeng Sunan Bonang tak pernah padam di hatinya.

Meski dirinya telah terpuruk, tapi semangatnya masih tetap terpatri di hatinya. Dia ingin Islam tak berkembang sampai mengalahkan agama yang diyakininya. Sang pendeta lama merenung. Selain meratapi nasibnya, dirinya ingin bisa segera bertemu dengan kanjeng Sunan Bonang. Meski sejatinya dia belum pernah tahu, bagaimana sosok pria yang diyakininya miliki kecerdasan otak yang tinggi dan ilmu kesaktian cukup mumpuni itu.

Hari mulai beranjak siang, sang mentari tak lagi malu-malu menampakkan sosoknya. Dan seiring dengan itu, persis di pinggir pesisir, tepat Sangkya Kitri duduk bersimpuh, tiba-tiba muncul sosok lelaki berpakaian serba putih dengan tongkat di tangan kanannya. Panjang tongkat yang dipegangnya, hampir setinggi tubuhnya. Sangkya Kitri terkejut, matanya membelalak hingga kulit dahinya membentuk garis-garis. Kanjeng Sunan Bonang memandangi orang didepannya itu dengan sinar mata penuh kearifan, belia lalu mengucap salam.

Tapi Sangkya Kitri tak kuasa menjawab ucapan salamnya, hatinya terus bergejolak menghadapi orang yang baru kali pertama itu dilihatnya. Lagi-lagi kanjeng Sunan hanya ter-senyum, menyikapi polah tingkah lawan bicaranya yang terus mematung dan membisu itu. Lalu secepat kilat dipukul-pukulkanlah tongkat saktinya di pasir.

Sejurus kemudian, dari bekas pukulan itu keluar air, semakin lama air yang keluar semakin banyak, bahkan semburan air itu diikuti dengan bekal dan buku-buku Sangkya Kitri yang beberapa hari lalu hanyut di laut. Sangkya semakin terperanggah dengan aji kasekten orang yang ada di hadapannya itu yang ternyata adalah orang yang selama ini dia cari, yakni Kanjeng Sunan Bonang.

Kecongkakan Sangkya mendadak luntur. Niat mau mengajak Kanjeng Sunan Bonang untuk adu kecerdasan sekaligus kesaktian berubah menjadi rasa kagum dan hormat. Endhingnya, pendeta yang sombong ini akhirnya menasbihkan dirinya untuk selanjutnya memeluk agama Islam.

Kisah pun tak berhenti sampai disini. Air yang terus-menerus keluar dari tanah pasir itu, akhirnya berubah menjadi sumur. Nah, agar air yang keluar tidak terus-menerus meluber, kanjeng Sunan Bonang memerintahkan Sangkya untuk dibuatkan srumbung, semacam pagar agar air tak terus meluber ke tanah sekaligus menjaganya. Uniknya, sumur yang hanya sepuluh meter jaraknya dari tepian pantai Tuban itu, airnya tak terasa asin, melainkan tawar sebagaimana air sumur yang jauh dari wilayah pantai.

Kisah ini sudah lama berlalu. Tapi kharomah air sumur masih tetap terasa sampai sekarang. Ini terbukti dari banyaknya warga yang datang dari berbagai daerah untuk mengambil airnya yang tak pernah kering meski datang musim kemarau. Mereka yang percaya, menjadikan air sumur sebagai obat penyembuh beragam penyakit dan lain sebagainya. Lebih dari itu, penduduk setempat tiap tahun selalu menggelar sedekah bumi tak jauh dari lokasi sumur. Malamnya, pementasan wayang golek. “ Sumur ini tercipta dari tongkat sakti Kanjeng Sunan Bonang,” demikian kata Suparlan (50) penduduk setempat, yang selalu setia menemani warga yang ingin mengambil air sumur.*