16 Januari 2025

`

Prasasti Pamotoh Menceritakan Sejarah Panjang Kelurahan Gadang

3 min read
Tanda panah lokasi struktur bata merah yang memanjang membentuk pematang di area makam ‘Kebon Toro’.

MALANG, TABLOIDJAWATIMUR.COM – Kelurahan Gadang, Kecamatan Sukun, Kota Malang, Jawa Timur,  ternyata memiliki sejarah pemerintahan yang cukup panjang. Secara tertulis, Kelurahan  Gadang —-dulu disebut Desa Gadang—- sudah dikenal sejak tahun 1198, dalam Prasasti Pamotoh yang dikeluarkan pada zaman Kerajaan Kadiri.

 

Punden makam ‘Mbah Djosari’ di Jl. Gadang Gg. 21 B.

 

PADA waktu itu, Desa Gadang masuk dalam ‘wisaya’ (wilayah semacam kadipaten) Kanuruhan.

Rakai Hino Galeswangi dan Suwardono melakukan penelusuran berkenaan perjalanan sejarah Desa Gadang. “Sejarah Gadang dapat dikaitkan dengan Prasasti Gadang tahun 1307 Śaka yang sekarang disimpan di Museum Nasional dengan no. inventaris D. 180,” kata Rakai Hino Galeswangi, Minggu (29/01/2023) siang.

Area makam lama Gadang di Jl. Gadang Gg. VI. Di bawah pohon beringin sisi timur merupakan situs bangunan suci candi

Menurutnya, isi Prasasti Gadang berkenaan dengan penganugerahan tanah sīma di Desa Gadang pada zaman Majapahit, di  masa pemerintahan Sri Rajasanagara atau Hayamwuruk.

Anugerah tanah sīma di Gadang ini diberikan kepada seorang tokoh bernama Dhapunta Bulanawijaya. Tujuannya, untuk kelangsungan bangunan suci candi. Peristiwa itu ditandai dengan Prasasti Gadang, bertanggal 3 Kresnapaksa hari Was Kaliwuan Soma wuku Wuyai bintang yoga Wrdhi tahun 1307 Śaka. “Penanggalan Śaka ini equivalent dengan kalender Masehi yang jatuh pada hari Senin Kliwon tanggal 24 Juli 1385,” terang Rakai Hino.

Dalam melakukan penelusuran sisa-sisa peninggalan purbakala di daerah Gadang, mereka merujuk laporan Maurenbrecher yang dimuat dalam Oudheidkundig Verslag tahun 1923 tentang batu-batu candi di punden makam Mbah Djosari, fragmen arca dan lingga kecil di makam lama Jl. Gadang Gg. VI yang di dalamnya terdapat punden makam Nyai Putri yang di atasnya ditumpuk potongan batu-batu candi, serta laporan Crucq dalam  Oudheidkundig Verslag tahun 1929 berkenaan dengan Prasasti Gadang.

Dia menjelaskan, di makam lama Gadang,  ada struktur bata dengan ukuran lebar 23 cm,  tebal 9 cm,  dan panjang tidak diketahui,  karena tidak mendapati bata yang utuh. “Atas informasi seorang warga yang berprofesi sebagai penggali kubur, di area makam didapati pola keletakan bata membentuk bujursangkar ± 6 m2. Di bawah pohon beringin ditemukan satu batu candi dikenal sebagai punden Mbah Kepolo. Area makam lama ditengarai menyimpan sisa dari situs bangunan candi,” jelas Rakai Hino.

Prasasti Gadang di Museum Nasional Jakarta dengan no. inventaris D. 180.

Di tenggara makam ‘Kebon Toro’, makam baru Gadang, didapati situs struktur bata yang teruruk tanah membentuk pematang sepanjang ± 92.25 m. Di area makam juga terdapat struktur bata. Ukuran bata di daerah ini ada 2 jenis, yaitu ukuran lebar 21 cm tebal 7 cm sementara panjang tidak diketahui karena tidak mendapati bata yang ukuran utuh, dan ukuran lebar 18 cm tebal 6 cm panjangnya tidak diketahui. Suwardono berasumsi bahwa situs di area makam ‘Kebon Toro’ adalah tanah sīma yang dimaksud di dalam Prasasti Gadang. Prasasti itu tentunya berasal dari sana.

Menurut Rakai Hino, Dhapunta Bulanawijaya diduga seorang tokoh keagamaan di Gadang yang berjasa kepada raja, sehingga mendapat anugerah tanah sīma di Gadang. Kata Dhapunta berarti yang dipertuan atau mpungku atau mpu. Penerima anugerah sīma di suatu desa dengan sendirinya menjadi kepala sīma di desa tersebut.

“Sejak ditetapkannya Prasasti Gadang tanggal 3 kresnapaksa hari Was (paringkĕlan) Kaliwuan (pasaran) Soma wuku Wuyai tahun 1307 Śaka atau equivalen dengan hari Senin Kliwon tanggal 24 Juli 1385, segala yang berhubungan dengan pemerintahan Desa Gadang menjadi kewajiban dan hak Dhapunta Bulanawijaya sebagai kepala sīma, bukan lagi menjadi tanggungjawab dan hak para rāma (para tetua) Desa Gadang,” jelas Rakai Hino.

Zaman dahulu hingga pada masa sistem pemerintahan kerajaan, desa tidak dipimpin oleh seorang kepala desa, tetapi dipimpin secara bersama oleh  para rāma (para tetua desa).Jelas anggota tim TACB kota malang ini

Sementara Suwardono juga menambahkan, pergantian sistem kepemimpinan desa dari beberapa orang rāma kepada satu orang kepala daerah sīma, tentunya dapat digunakan sebagai tĕtĕngĕr Hari Jadi Pemerintahan Desa Gadang berdasar Prasasti Gadang, yaitu hari Senin Kliwon tanggal 24 Juli 1385. Dengan demikian sejarah pemerintahan Gadang sampai tahun 2023 ini sudah mencapai 638 tahun. Pungkas sejarawan senior di kota malang ini menjelaskan. (div/mat)