24 April 2024

`

Perempuan, Paling Banyak Disasar Paham Ekstremisme

2 min read

MALANG, TABLOIDJAWATIMUR.COM – Selama dua dekade terakhir, terjadi 45 aksi teror. Salah satu penyebab terjadinya kekerasan dan teror berbasis agama adalah ekstremisme yang mengakar kuat di sekitar masyarakat yang rentan. Bahkan ajakan ekstremisme sudah menyasar di forum-forum pengajian. Dan, yang disasar adalah masyarakat yang secara agama masih belum utuh.

 

Para narasumber yang mengisi kajian yang membahas pentingnya pendidikan perdamaian yang digelar Rumah Baca Cerdas (RBC) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Jawa Timur, Senin (03/05/2021).

 

HAL INI terungkap dalam kajian yang membahas pentingnya pendidikan perdamaian yang digelar Rumah Baca Cerdas (RBC) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Jawa Timur, Senin (03/05/2021).

Luluk Farida, salah narasumber  dalam kajian itu mengatakan, salah  satu penyebab terjadinya kekerasan dan teror berbasis agama adalah ekstremisme yang mengakar kuat di sekitar masyarakat yang rentan.

Para peserta kajian yang membahas pentingnya pendidikan perdamaian yang digelar Rumah Baca Cerdas (RBC) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Jawa Timur, Senin (03/05/2021).

“Ajakan kepada ekstremisme sudah menyasar di forum-forum pengajian. Yang disasar adalah masyarakat yang secara agama masih belum utuh. Mereka diajarkan untuk berjihad dengan menggunakan potongan-potongan ayat atau teks keagamaan yang mengandung kebencian,” ujar Luluk Farida saat mengisi diskusi.

Luluk  menambahkan, berdasarkan data yang disadurkan  BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme),  yang paling banyak disasar oleh paham ekstremisme adalah perempuan, dengan presentase 12,3%. Jika dahulu perempuan berada di balik layar, sekarang perempuan sudah bisa menjadi aktor di balik terjadinya aksi teror. “Misalnya Zakiah Aini, aktor tunggal di balik penyerangan Mabes Polri yang menggunakan senapan angin,” katanya.

Sementara itu, anggota Aliansi Jurnalis Indonesia, Eko Widianto, yang juga menjadi narasumber dalam diskusi itu mengatakan,  media juga turut andil dalam menciptakan aksi teror. Setelah paham ekstremisme sudah mengakar kuat, segala informasi terkait aksi teror yang ada di media, baik cetak maupun elektronik,  juga turut membantu teroris untuk melancarkan aksinya.

“Bagaimana cara merakit bom, bagaimana menghindar dari sergapan Polisi atau cara-cara melancarkan aksi teror, dengan mudah didapatkan melalui media massa,” tutur Eko.

Menurutnya, dengan segala kemudahan akses-akses menuju aksi teror ini, maka sudah semestinya ajaran dan ajakan mengenai perdamaian harus disemai kembali. “Kunci utama dalam mereduksi paham ekstremisme adalah dengan menggalakkan pendidikan perdamaian. Literasi dan kesadaran tentang keberagaman harus dikampanyekan,” jelasnya.

Senada dengan itu, Direktur Program RBC Institute A. Malik Fadjar, Nafik Muthohirin mengungkapkan, porsi pendidikan agama yang inklusif dan mengajarkan pluralisme harus ditambahkan dalam kurikulum, karena kaum muda juga sangat rentan terpapar paham ektremisme.

Menurut Nafik, upaya-upaya mencegah paham ekstrem tidak hanya disajikan secara teori, tapi juga diteladankan oleh para penganjur dan pengajar. “Dialog antar agama juga sudah semestinya dijalin kembali. Sehingga, melalui dialog ini bisa tercipta ruang belajar antar satu dengan yang lain,” ujarnya. (div/mat)