Pengungsi Palestina : Antara Diplomasi dan Pengosongan Wilayah
3 min readOLEH: SITI NUR NAILATUL MUFIDAH,
Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Malang
Indonesia, sebagai negara dengan populasi terbesar keempat di dunia dan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, terus memainkan peran penting dalam kancah internasional. Baru-baru ini, berbagai inisiatif dan respons pemerintah Indonesia terhadap isu-isu global menunjukkan komitmen negara ini dalam menyeimbangkan kepentingan nasional dengan tanggung jawab internasional.
DALAM Konflik yang terus berkecamuk di Gaza, Indonesia telah menawarkan untuk menampung sementara sekitar 1.000 warga Palestina yang terluka dan anak- anak yatim piatu akibat perang. Presiden Prabowo Subianto menegaskan bahwa langkah ini bersifat sementara dan tidak dimaksudkan untuk pemukiman permanen. Ini sejalan dengan komitmen Indonesia terhadap hukum internasional dan dukungan terhadap kemerdekaan Palestina. Langkah ini mencerminkan solidaritas Indonesia sebagai negara dengan mayoritas muslim terbesar di dunia dan memperkuat posisinya dalam diplomasi kemanusiaan global.
Pada hari Rabu, 9 April 2025, Presiden Prabowo Subianto dengan tiba-tiba menyatakan bahwa Indonesia bersedia menerima 1.000 warga Gaza “pada gelombang pertama”. “Kami siap mengevakuasi mereka yang luka-luka, mereka yang kena trauma, anak-anak yatim piatu. Siapa pun yang ingin dievakuasi ke Indonesia oleh pemerintah Palestina dan pihak-pihak terkait di sana, kami siap mengirim pesawat untuk mengangkut mereka”, katanya.
Presiden Prabowo Subianto mengungkapkan beberapa syarat yang diperlukan untuk evakuasi ini. Pertama, semua pihak yang terlibat harus mencapai kesepakatan. Kedua, mereka hanya akan ditempatkan di Indonesia untuk sementara. Menurutnya, mereka hanya akan tinggal di sini sampai mereka pulih, sehat, dan ketika kondisi di Gaza sudah memungkinkan, mereka harus kembali ke daerah asal mereka.
Tanggapan atas kebijakan Indonesia yang menerima sementara 1.000 warga Palestina termasuk yang terluka dan anak-anak yatim piatu perlu dilihat dari berbagai sudut pandang. Di satu sisi, langkah ini adalah wujud nyata diplomasi kemanusiaan dan solidaritas terhadap penderitaan rakyat Palestina. Namun, ada juga kekhawatiran strategis yang patut dipertimbangkan, terutama terkait dengan potensi dampaknya terhadap perjuangan rakyat Palestina di tanah air mereka sendiri.
Dalam posisi strategis keputusan Indonesia untuk menerima 1.000 penduduk warga Palestina yang terluka dan anak – anak yatim piatu adalah bentuk nyata komiten kemanusiaan Indonesia. Tidak hanya berdampak pada hubungan bilateral Indonesia-Palestina, tetapi juga meningkatkan citra Indonesia di dunia Internasional sebagai negara muslim yang moderat yang aktif dalam isu-isu kemanusiaan. Di saat negara-negara lain masih memperdebatkan peran mereka dalam konflik Gaza, Indonesia hadir dengan tindakan nyata. Langkah ini juga diharapkan dapat memperkuat posisi diplomasi Indonesia dalam forum-forum internasional seperti OKI, ASEAN, dan PBB.
Namun demikian, tindakan kemanusiaan semestinya tidak justru berujung pada melemahnya tujuan utama: yaitu kemerdekaan dan kedaulatan penuh bagi Palestina. Bantuan sebaiknya lebih difokuskan pada penguatan fasilitas medis di wilayah perbatasan, pengiriman bantuan langsung ke Gaza, serta dukungan politik dan diplomatik yang lebih masif di tingkat internasional. Jangan sampai niat baik ini justru menjadi beban baru apabila tidak dikelola dengan baik. Dengan pendekatan yang lebih terarah, Indonesia bisa tetap menjalankan peran sebagai pelopor diplomasi kemanusiaan, tanpa melemahkan semangat perjuangan rakyat Palestina untuk tetap hidup dan berdaulat di tanah mereka sendiri.
Semakin banyak warga Palestina yang dievakuasi atau dipindahkan dari wilayah konflik, maka semakin besar pula peluang bagi Israel untuk mengonsolidasikan kekuasaannya atas wilayah yang secara historis dan hukum internasional adalah milik bangsa Palestina. Dalam konteks ini, evakuasi massal meskipun didasarkan pada alasan kemanusiaan dapat secara tidak langsung mempercepat proses pengosongan wilayah Palestina, melemahkan perlawanan rakyat lokal, dan membuka ruang bagi perluasan pendudukan. Hal ini bukan berarti Indonesia harus menutup pintu bagi bantuan kemanusiaan. Namun, penting bagi Indonesia untuk menjaga keseimbangan antara membantu para korban dan tidak memberikan kesan bahwa pengungsian adalah solusi jangka panjang atas konflik yang sebenarnya menuntut penyelesaian politik dan keadilan.
Pendekatan yang bijak bisa dilakukan dengan memastikan bahwa semua bantuan bersifat sementara, terukur, dan disertai dengan tekanan diplomatik kuat kepada komunitas internasional untuk menghentikan agresi Israel serta mendukung solusi dua negara sesuai resolusi PBB. Indonesia juga bisa memperkuat kapasitas bantuan langsung di kawasan seperti rumah sakit lapangan, pasokan medis, dan dukungan psikososial di wilayah perbatasan Palestina agar rakyat Palestina tetap bisa bertahan dan berjuang di tanah mereka sendiri. Dengan demikian, diplomasi kemanusiaan tidak hanya menjadi simbol empati, tetapi juga tetap selaras dengan strategi besar perjuangan kemerdekaan Palestina. (*)