Merjosari, Desa Tertua di Kota Malang
3 min readMALANG, TABLOIDJAWATIMUR.COM- Kota Malang, Jawa Timur, memiliki sejumlah desa berusia ratusan tahun. Setelah Desa Gadang, Kecamatan Klojen yang berumur 638 tahun, sekarang ada Desa Merjosari, Kecamatan Lowokwaru, yang berumur 807 tahun.

PURBAKALAWAN Kota Malang, Suwardono dan Rakai Hino, menjelaskan, Kelurahan Merjosari, sebelum 1987, merupakan desa di Kecamatan Dau, Kabupaten Malang. “Pada masa Pemerintahan Belanda, Merjosari masuk dalam Onderdistrict Dau District Penanggungan Afdeling Malang, sesuai dengan Staatblad no.16 tahun 1819,” katanya, Minggu (12/03/2023).

Dia menambahkan, berdasarkan pendapat yang diyakini, nama Merjosari ditafsir dan dihubungkan dengan kata ‘amrtajayasri’. Amerta sama dengan merto, sama dengan metro, karena kebetulan Desa Merjosari dilewati Sungai Metro. “Pendapat ini diajukan Van der Meulen dalam tulisannya yang berjudul The Puri Putikesvarapavita and the Pura Kañjuruhan,” jelas sejarawan senior, Suwardono.
Suwardono dan Rakai Hino beberapa waktu lalu kembali menelusuri peninggalan cagar budaya di kawasan Merjosari. Mereka berpegang pada data kepurbakalaan di Museum Mpu Purwa serta informasi penduduk, didapati 12 titik temuan BCB di Merjosari yang dapat diidentifikasi kembali.
Dua belas titik tersebut, (1) tempat temuan 10 batu umpak dan beberapa fragmen bata dan fragmen arca di Dukuh Candri, Jl. Mertojoyo Barat (Barat Masjid Al Ikhlas), (2) tempat temuan arca Vyala Singa dan beberapa fragmen pondasi bata di Dukuh Sempol, Jl. Mertojoyo Barat Dalam (Perum Dinoyo Residence), (3) tempat temuan 2 batu Makara di Dukuh Gandul Merjosari, menurut laporan Belanda berada di pekarangan Pak Legimin, di sekitar Jl. Joyo Pranoto Merjosari, (4) tempat Yoni berbentuk kubus polos di letakkan oleh penduduk Merjosari di perempatan jalan di depan Kantor Kelurahan Merjosari, (5) tempat temuan Yoni di belakang pos kamling Jl. Joyo Utomo Gg. IX, menurut catatan Belanda berada di sawah Mbok Ratemo, (6) tempat temuan Yoni dan struktur bata kuno di Jl. Mertojoyo kawasan Taman Singha, sekarang disimpan di rumah Pak Kibat (Hari Kurniawan), (7) tempat temuan arca Buddha dari perunggu di Kampus UNIGA, Jl. Mertojoyo Blok L, (8) tempat temuan situs pasidikan dengan fragmen pondasi bata dan fragmen arca belum jadi, di sekitar Jl. Joyo Suko Gg. II, (9) tempat temuan situs urung-urung (goa bawah tanah), di sisi timur Jl. Joyo Suko, (10) tempat temuan situs urung-urung (goa bawah tanah), di Jl. Joyo Tamansari I, (11) tempat Yoni di sawah Kasin-Merjosari, (12) tempat batu lumpang di sawah Kasin-Merjosari.
Mereka beranggapan bahwa kawasan Merjosari di zaman lampau merupakan kawasan tempat suci. Anggapan itu juga didasarkan pada prasasti Kertajaya atau prasasti Merjosari II yang sekarang disimpan di Museum Nasional Jakarta dengan nomor inventaris D. 182.
“Dalam Oudheidkundieg Verslag tahun 1923 dan tahun 1929, prasasti Kertajaya berangka tahun 1138 Śaka, ditemukan di Desa Merjosari, di dekat rumah petinggi Djojoredjo. Pada sisinya terdapat huruf kwadrat yang berbunyi Kr-ta-ja-ya, lukisan garudamukha sebagai segel, dan terdapat lukisan semacam bangunan pendapa. Di sisi lain terdapat beberapa baris tulisan Jawa kuno dengan bahasa Jawa kuno,” jelas Suwardono.
Dengan berpedoman pada sistem penanggalan Jawa kuno karya Louis Charles Damais, Suwardono dapat menentukan penanggalan prasasti Kertajaya secara lengkap, yaitu ‘1138 Śaka hariyang (paringkelan 6 hari) umanis (pasaran 5 hari) anggara (manggala) (pasaran 7 hari) tithi nawami kresnapaksa waisakha candra (masa)’ atau equivalen dengan hari Selasa Legi tanggal 3 Mei 1216 Masehi.
Isi prasasti Kertajaya menyebut bahwa tahun 1138 Śaka hari hariyang umanis anggara bulan waiśaka, didirikan wihara pertapaan yang diperuntukkan bagi kelompok masyarakat kelas bawah, menengah, dan atas, yang ingin menjadi pertapa tinggal di dalam hutan (wanaprasta) dan tinggal di wihara pertapaan sebagai biksu.
“Wihara pertapaan tersebut didirikan oleh seorang yang bernama Rakryan Manguri. Sedang yang diutus oleh sang raja (Kertajaya) untuk meresmikan wihara pertapaan bernama Sang Apanji Durggati Rakryan Juru Baba Kaki Ganjar,” jelas Rakai Hino.
Nama Merjosari diduga berasal dari prasasti Kertajaya. Pada baris 1, 2, dan 3 prasasti Kertajaya terbaca ‘śakakāla warsatita i śaka 1138 ha ma ga waysakha candra murttijaya murttijaya jayamurti sacatur āśrama’. Kata ‘murttijaya murttijaya jayamurti’, mengingatkan kepada nama kuno Desa Merjosari, yaitu Merjoyo.
Catatan tertua Desa Merjoyo terdapat pada Topograpische Kaart Residentie Pasoeroean tahun 1866. Sementara nama Merjosari muncul belakangan pada peta laporan F.D.K Bosch tahun 1924. Disusul nama Mertojoyo dan Njoyo. Nama Merjoyo diduga merupakan perubahan dari kata ‘murttijaya’ yang dalam dialek Bahasa Jawa Baru berbunyi ‘murttijoyo’.
Tidak mustahil secara pengucapan, kata ‘murttijaya’ yang di dalam prasasti Kertajaya diulang 3 kali, begitu tertanam di dalam ingatan masyarakat, sehingga lingkungan mandala keagamaan itu dikenal sebagai ‘murttijaya’ (wujud kemenangan), yang lama-lama pengucapan dalam bahasa Jawa Baru menjadi ‘Murtijoyo’, kemudian diucapkan ‘Merjoyo’.
“Dari hasil analisa terhadap prasasti Kertajaya serta bukti-bukti arkeologis lainnya di kawasan Merjosari, dapatlah kiranya tanggal 3 Mei 1216 tersebut dijadikan sebagai hari awal suatu desa yang mernama Merjoyo atau Merjosari. Dengan demikian hingga sekarang nama Merjoyo yang dijadikan suatu desa pemerintahan usianya sudah mencapai 807 tahun,” pungkas Suwardono. (div/mat)