30 April 2025

`

Jelajah Situs Pawitra 17 di Hutan Sukamerta Genting (7/habis)

4 min read

Ada Pemblauran Sejarah oleh Ahli dari Belanda

 

MOJOKERTO, TABLOIDJAWATIMUR.COM – Jagong Budaya  menjadi acara puncak kegiatan rutin Jelajah Situs Pawitra (JSP). Pada JSP 17 yang berlangsung 4 -5 Pebruari 2023 yang mengusung tema ‘Menyibak Misteri Istana Wotan Mas Jedong’ ini, panitia mendatangkan Drs. Ismail Lutfi, MA, dosen sekaligus sejarawan sebagai narasumber serta Rifa’tul Hasanah sebagai moderator.

 

Peserta Jelajah Situs Pawitra (JSP) 17 bersama Drs. Ismail Lutfi sebelum meninggalkan Candi Umpak Wolu. (foto : Muhammad Fahmi, Ketua Umum JSP)

 

BARU beberapa menit Ismail Lutfi menyampaikan kajian akademisnya malam itu, peserta JSP 17 dan panitia yang duduk manis di pelataran Candi Umpak Wolu, terperangah mendengarkan awal materinya. Betapa tidak, ternyata wilayah Jedong di peta lama tanpa kata depan Wotan Mas.

Peserta Jelajah Situs Pawitra (JSP) 17 jagong budaya di pelataran Candi Umpak Wolu, menghadirkan Drs. Ismail Lutfi sebagai narasumber. (foto : Muhammad Fahmi, Ketua Umum JSP)

“Mengapa ditambahi Wotan Mas depannya? Ternyata ini ada campur tangan atau rekayasa seseorang ahli dari Belanda yang terobsesi dengan kajian yang dia lakukan tentang Airlangga. Yang digambarkan dalam sebuah prasastinya pernah berkeraton di Wotan Mas,” katanya.

Ahli Belanda itu mengklaim keraton Wotan Mas berada di daerah Jedong. Lalu  mempublikasikan gagasannya itu berpengaruh kepada persoalan penyebutan dalam nama geografi.

Akhirnya muncullah suatu bayangan atau gambaran, seolah-olah masyarakat percaya bahwa Jedong itu mempunyai kaitan dengan Wotan Mas. Akhirnya muncullah peta yang lebih muda usianya, bukan lagi bernama Jedong tapi Wotan Mas Jedong.

“Menurut saya, ini mengaburkan sejarah kalau kembali pada peta kuno. Anggap saja kita mengambil peta dari abad ke-19, nanti ketemu bahwa Jedong itu dulu ndak ada kata Wotan Mas. Dan ternyata dari kajian-kajian selanjutnya wilayah ini boleh dikatakan clear dari campur tangan Airlangga,” papar Ismail Lutfi.

Peserta Jelajah Situs Pawitra (JSP) 17 jagong budaya di pelataran Candi Umpak Wolu, menghadirkan Drs. Ismail Lutfi sebagai narasumber. (foto : Muhammad Fahmi, Ketua Umum JSP)

Sehingga, lanjut Ismail Lutfi, terkait dengan apa yang sudah marak di masyarakat di bagian pawitra sendiri. Ada situs yang sangat terkenal,  yaitu Patirtan Jolotundo. Sampai sekarang banyak disebut sebagai petilasan atau peninggalan Prabu Airlangga.

Dia mempertegas bahwa penyebutan itu menjadi tidak relevan. Karena angka tahun yang tertulis pada dinding Patirtaam Jolotundo sangat jelas tahun 899 Saka atau kalau dimasehikan ketemu 977 Masehi. Tahun yang jauh lebih tua dari pada Airlangga.

“Artinya, Airlangga belum lahir. Jadi enggak relevan kalau dikatakan patirtan itu terkait dengan Airlangga. Kalau terkait dengan orang yang lebih tua dari pada  Airlangga,  masuk akal,  dan kita terjebak dengan pemahaman atau penyampaian dari dulu. Tentang adanya inskripsi berbunyi Udayana serta Mrgayawati, yang kemudian diklaim bahwa itu terkait dengan Dharmodayana Warmadewa di Bali. Persoalannya, buktinya apa?” katanya bernada tanya.

Dikatakan, secara historis memang kata Udayana itu merujuk kepada Darmodayana Warmadewa di Bali. Tidak ada sumber yang bisa menguatkan pendapat itu. Kecuali hanya sebatas hipotesa atau anggapan sementara. Di sebelah dari inskripsi Udayana ada inskripsi berikutnya, yaitu Mrgayawati.

Peserta Jelajah Situs Pawitra (JSP) 17 menggelar jagong budaya di pelataran Candi Umpak Wolu, menghadirkan Drs. Ismail Lutfi sebagai narasumber. (foto : Muhammad Fahmi, Ketua Umum JSP)

“Ternyata dua nama ini kalau dilacak kembali pada teks-teks kuno yang kebetulan tidak terdapat di Indonesia. Lalu kita kembalikan kepada asal usul pengaruh dari India, pengaruh kepada kita besar sebenarnya. Tentang beradaptasinya, kita harus hati-hati sebenarnya untuk melakukan klaim,” jelasnya.

Mempelajari sejarah peninggalan leluhur, tidak cukup hanya dengan menjelaskan secara fisik apa yang kita lihat. Tetapi konteks yang lain harus diperhatikan. Konteks lingkungannya, konteks waktunya, konteks sosialnya. Kalau bisa harus sampaikan pada masyarakat sampai sejauh itu, sehingga terbuka wawasan bagi masyarakat. Bahwa ternyata leluhur dulu benar-benar bukan orang yang asal-asalan bekerja. Tapi dengan suatu cara pandang yang luas, bahkan visioner.

Menurutnya, yang diprotek itu sumber air. Dan sumber air itu terkait dengan hajat makhluk hidup semuanya. Semua orang belum bisa masuk ke sana karena diawasi, dijaga dengan ketat agar kemungkinan buruk tidak terjadi. “Andaikan ada orang jahat memasukan kecubung ke situ (sumber air), semua orang yang menggunakan air sumber bisa gatal semua. Apalagi ada yang memasukkan potas. Berbahaya,” katanya.

Itu contoh bahwa sumber mata air itu sesuatu yang sangat penting untuk kepentingan banyak pihak. Sehingga harus diprotek. Rata-rata peninggalan yang berbau sumber daya air di wilayah Pawitra itu mendapatkan proteksi dengan bungkus yang paling jitu. Yaitu dalam kemasan religi. “Sampai hari ini pun orang enggak bisa atau enggak berani semaunya,” kata Ismail Lutfi menjelaskan secara akademik.

Masih kata sejarawan itu, mengapa Jedong menjadi penting. Tidak hanya dalam konteks wilayah Jedong dan Genting. “Saya sih kampanye kepada khalayak supaya sejarah itu tetap berbasis pada data. Kemudian dalam menyampaikan narasinya juga bisa diterima secara nalar. Bukan lagi dengan katanya gitu. Dalam sejarah itu ada langkah-langkahnya, jadi setelah ada data, kemudian apakah isinya benar atau aspal,” paparnya.

Sehingga kalau kawan-kawan di lapangan kadang-kadang ketemu dengan data yang belakangan ini muncul, banyak prasasti palsu. Bahkan enggak tanggung-tanggung yang memalsukan ini orang hebat, dia mengambil prasasti Gajah Mada yang aksaranya begitu indah, begitu menawan. Tapi dia nyetaknya dalam bentuk lempengan dan dilapisi emas.

Dia pun mengajak peserta JSP 17 belajar tentang sejarah  dengan data yang ada. Tetapi, ketika masuk pada tahap berikutnya, yaitu analisa atau interpretasi, harus menggunakan kaidah-kaidah yang semestinya. Sehingga narasi yang dibangun itu benar-benar valid.

Seperti yang dicontohkan, mengapa Jolotundo tidak cocok lagi untuk Airlangga? Menurutnya, angka tahunnya sangat jelas. Nama Udayana dan Mrgayawati tidak ada hubungan dengan kebudayaan di Bali. Itu sejarah, tapi sebenarnya di sisi lain kalau sudah ada folklor di masyarakat yang diakui seperti itu, tidak perlu dipatahkan.

“Jadi ini saya bicara dalam konteks akademik. Kalau masyarakat sudah begitu, ya sudah enggak apa-apa. Kita enggak perlu  merubah masyarakat supaya berganti cara pandang. Jangan, biarkan, karena apa? Itu sudah menjadikan salah satu hal yang dipercaya. Apalagi untuk pemda, itu revenue. Itu penghasilan. Jadi mau nggak mau ya kita harus terima apa adanya. Jadi yang sudah ada ya sudah,” katanya. (adi/mat)