Candi Loster – Merak, Membuat Peserta Kerasan Berlama-lama

MOJOKERTO, TABLOIDJAWATIMUR.COM – Pagi hari peserta Jelajah Situs Pawitra (JSP) 17 yang semalam mengikuti Jagong Budaya, sudah bangun dari tidurnya. Mereka pun bersiap mengikuti jelajah di hari kedua. Setelah 10 – 15 menit berjalan dari Candi Umpak Wolu, peserta memasuki areal Candi Loster. Mereka pun bersukaria, melihat karya nenek moyangnya yang sudah berusia ratusan tahun.

MENURUT Sanan Surya Sindhu Patih –akrab disapa Kang Sindu– Candi Loster adalah reruntuhan sebuah bangunan punden berundak. Awal ditemukan, candi tersebut tertutup rerimbunan tumbuhan kaliandra. Apabila ditarik garis lurus, posisinya berada 500 meter di atas Candi Umpak Wolu.

Kalau dilihat, yang tersisa sebenarnya hanya ukelan tangga naik dan pondasi candi. Bangunan punden berundak ini dinamakan Candi Loster, karena terdapat satu relief yang mirip sekali dengan loster (angin-angin rumah). “Penemuan relief loster itu sangat menarik, karena hanya satu dari sekian banyak rerentuan batu,” kata Kang Sindhu kepada peserta yang memenuhi pelataran candi mungil itu.
Candi tanpa Nama
Keberadaan candi tanpa nama relatif sangat baru. Karena situs itu dibuka panitia saat survei lokasi, kira-kira dua minggu sebelum JSP 17. Candi di tepi jalur pendakian itu terbuat dari susunan batu alam berupa tangga naik dan pondasi. Tertutup pohon- pohon yang tumbang karena lapuk.
“Karena keberadaannya sangat menggelitik, teman-teman panitia saya ajak membersihkan semua pohon yang menutupinya,” kata Kang Sindhu.
Setelah dibersihkan, bangunannya terlihat. Diduga lebih tua masanya, karena material bangunannya masih menggunakan batu alam (belum dibentuk). Tetapi ada beberapa batu andesit yang berbentuk kotak. Biasanya hanya untuk altar kemuncak candi atau kemuncak kalamerganya saja.
Candi tanpa nama itu sama seperti situs-situs lain di Pawitra. Bangunanya beroriantasi membelakangi puncak Gunung Pawitra, tapi tidak menempel pada satu bukit atau datar. Bahkan ada dugaan bangunan itu adalah pondasi asrama bagi para pertapa yang bermukim di situ sebagai area tempat tinggal.
Candi Penanggungan
Menyusuri jalanan setapak landai dari Candi Baru batu alam, sekitar 10 menit kemudian peserta sampai di sebuah lembah kecil. Di situlah terdapat Candi Penanggungan.
Unik sekali candinya karena relief-reliefnya sangat beda dengan candi lain. Kalau candi lain masih menceritakan kisah Panji, di candi tak begitu besar dan ada dua angka tahun “14” ini mengisahkan Arjuna Wiwaha. “Pada relief itu diduga Sang Arjuna dengan Dewi Supraba, Nilutama, dan Dewi Gagarmayang,” jelas Kang Sindhu.
Candi Merak
Rute selanjutnya, peserta Jelajah Situs Pawitra (JSP) 17 ke Candi Merak yang berjarak tempuh hanya 5 menit. Merupakan reruntuhan bangunan punden berundak yang cukup besar. Dari bawah masih terdapat gerbang undakan naik.
Candi Merak disematkan karena ditemukan relief bulu ekor burung merak. Menariknya, di candi ini masih terdapat kemuncak altar sesaji berbentuk seperti nisan. Ada yang altar setengah bulan, ada juga altar normal. Ukuran nisannya seperti di candi lainnya.
Juga masih terdapat ukelan pengapit tangga naik kiri kanan, yang reliefnya utuh. Cukup menarik bila diperhatikan, apalagi kalau dijadikan motif batik dan ukiran. Karena itu banyak peserta yang mengagumi dan memotretnya secara detail. (adi/mat/bersambung)