Ikut Pilkades Jangan Seperti Mengkonsumsi Pil Koplo
2 min readMALANG,TABLOIDJAWATIMUR. COM – Fenomenalnya hajat pemilihan kepala desa (pilkades) serentak yang diikuti 859 calon kepala desa di 269 desa se-Kabupaten Malang, Jawa Timur, menuai beragam komentar dari para pengamat sosial politik. Salah satunya dari Dr. H. Sakban Rosidi, M.Si, pengamat sosial kemasyarakatan IKIP Budi Utomo Malang. Menurutnya, mengikuti pilkades jangan seperti mengkonsumsi pil koplo.

ARTINYA, hanya merasakan nikmat sesaat —karena menerima politik uang— namun ternyata menuai akibat negatif dalam jangka panjang, yaitu selama lima tahun kepemimpinan kepala desa. Setidaknya begitulah analisis Dr. H. Sakban Rosidi, M.Si , Peneliti Kebijakan Publik yang juga Direktur Pascasarjana IKIP Budi Utomo, Kota Malang.

Prof Sakban menamai fenomena tersebut sebagai Jebakan Rasionalitas Pil koplo. “Perilaku korupsi politik, dalam bentuk politik uang, politik nepotisme, dan politik patronase, secara antropologis dan sosiologis memiliki akar kuat dan jejak sangat panjang dalam pilkades,” katanya, Senin (01/07/2019).
Sakban menambahkan, ongkos politik menjadi kepala desa yang memiliki masa jabatan pendek, ternyata sangat besar dan sudah tak sebanding dengan penghasilan rutin dan akumulasi pendapatan kepala desa. Paradigma dan perilaku kerja kepala desa, belum bergerak dari konsep “lurah tempo doeloe” menuju konsep “kades era reformasi”.
“Etika dan norma administrasi publik, belum dihayati dan diindahkan oleh kebanyakan kepala desa. Cukup banyak kades di Kabupaten Malang yang terjerat kasus korupsi, terutama karena gagal memenuhi prinsip-prinsip administrasi publik. Pilkades serentak, memang mengurangi peran menentukan para botoh (pejudi) pilkades. Tapi belum mampu mengubah perilaku politik para calon dan perilaku memilih warga desa,” terangnya.
“Titi mongso atau momentum menjelang pilkades serentak, seharusnya dimanfaatkan untuk pendidikan dan penyadaran politik secara masif bagi warga negara. Rasionalitas pilkades harus dicegah agar tak menjadi rasionalitas pil koplo. Nikmat sesaat, merugi dunia akhirat,” tegas Sakban.
Sementara itu, komentar lebih positif dilontarkan Hasan Abadi, Rektor Unira (Universitas Raden Rahmat) Kepanjen. Hasan menilai, pilkades serentak di Kabupaten Malang, ternyata menunjukkan matangnya penduduk desa dalam berdemokrasi. Karena hampir tidak terdengar black campaign dalan gelaran tersebut apalagi berita-berita hoax. “Masyarakat desa terbukti lebih dewasa dalam menyikapi kegiatan pemilihan kepala desa,” katanya.
Menurut Hasan, pilkades benar-benar menjadi ajang pesta demokrasi yang sesungguhnya. Pada TPS yang dibuat pada satu tempat, malah terlihat kohesivitas sosial yang tinggi. Masyarakat desa tetap mau antri meski sambil berdesak-desakan. Karena itu ia berharap, para elite politik dan elite organisasi di tingkat lebih atas bisa meniru kearifan lokal dalam gelaran pilkades ini.
“Betapa indahnya bila kemudian hal-hal yang baik ini bisa ditiru dalam pemilihan di tingkat yang lebih atas. Kita berharap, kepala desa yang terpilih, bisa menyerap aspirasi masyarakat dengan baik, sehingga penggunaan dana desa lebih tepat sasaran,” tandas Hasan Abadi mengakhiri. (hadi/mat)