3 Oktober 2024

`

Gen Alpha: Gelagat dan Perlakuannya

4 min read

Halo readers! Bagaimana kabar anda? Semoga kebaikan selalu menyertai dalam hidup kita selamanya. Jangan lupa, berdoanya juga boleh dijadikan status media sosial. Jangan lupa, posting keseharian di media sosial juga bisa bikin mood dan follower kita naik agar kedepan bisa mempunyai exposure dan menjadi influencer.

 

Firahil Syaifinnabilah, S.Pd

BICARA tentang pembagian generasi manusia yang kini tengah menjadi perbincangan di Indonesia, dimana pembagian generasi tersebut ditandai dengan di tahun berapa generasi tersebut lahir. Namun hingga hari ini, dimana artikel ini ditulis, penetapan tahun dan nama generasinya masih berbeda-beda di setiap tahunnya.

Generasi alpha atau lebih gaulnya Gen Alpha adalah penyebutan generasi yang lahir di rentang tahun 2010 – 2025. Nama Alpha diambil dari huruf pertama abjad Yunani. Dikarenakan generasi alpha adalah orang-orang yang lahir sepanjang abad ke-21. Berbeda dengan pendahulunya yakni generasi X, Y(millenial), dan Z
Menurut Mark McCrindle, seorang social researcher dari Australia tahun 2008, ada hubungan antara Gen Alpha dengan Millenial Generation. Gen alpha adalah anak dari gen Y (millenial). Itulah mengapa gen alpha bisa disebut juga sebagai Mini Millenial.

Gen alpha juga dinamai sebagai anak-anak covid. Karena selama pandemi COVID 19, angka kelahiran di bumi mencapai 2.2 miliar juta jiwa. Ada beberapa fenomena mencengangkan ditemukan dari gen alpha. Mereka punya khas yang membedakan dengan generasi sebelumnya.

Gen alpha kerap disebut sebagai generasi digital. Karena mereka benar-benar hidup secara berdampingan dengan teknologi sejak mereka dilahirkan. Maka tak heran, di usia 2 tahun mereka sudah lihai menggunakan gadget. Seperti tablet, smartphone, dan perangkat elektronik lainnya.

Saat pandemi covid-19, gen alpha telah memberikan dinamika baru pada dunia. Digitalisasi dapat memudahkan dan memberikan akses, sehingga mereka dapat memperluas kemampuan dan pengetahuan. Kesimpulannya, mereka seperti segitiga bermuda abadi yang mana hanya di rumah saja, belajar, dan bermain lewat layar monitor, berkomunikasi dan berinteraksi lewat layar monitor.

Meski gen alpha sangat akrab dengan digitalisasi, hal ini tidak membuat mereka kecanduan pada teknologi. Dilansir dari Metro, CEO Beano Studios Emma Scott menyatakan bahwa gen alpha bisa menyeimbangkan antara menggunakan teknologi dengan aktivitas fisik maupun sosial. Bahkan mereka pun tertarik membuat kerajinan tangan.

Gen alpha juga multitasking. Ini dikarenakan mereka sering berinteraksi dengan berbagai perangkat dan platform digital sekaligus. Kemudian gen alpha memiliki pendekatan pendidikan yang berbeda. Mereka lebih terbuka terhadap beragam model pendidikan dari generasi-generasi sebelumnya.

Selanjutnya gen alpha menggunakan media sosial sebagai alat komunikasi. Mereka terbiasa berinteraksi dengan temannya melalui media sosial. Terkadang hal ini membuat mereka tidak bisa dibatasi oleh aturan. Mereka memiliki prespektif tak terbatas sehingga cenderung mengambil keputusan atas diri mereka sendiri. Seperti memberikan hate comment, membuka video di luar batas usia mereka, dll.

Beragam sikap yang telah dijelaskan membuat gen alpha memiliki peluang untuk mencapai pendidikan yang lebih baik. Gen alpha dinilai memiliki pandangan yang lebih terbuka dan maju dibanding generasi sebelumnya. Meski gen alpha memiliki banyak kelebihan, ternyata gen alpha juga diprediksi memiliki resiko yang tinggi akan kesehatan mental.

Gangguan kecemasan dan depresi akan kerap menghantui mereka. Karena gen alpha dituntut untuk bergerak cepat sehingga memberikan tekanan bagi mereka. Namun apa pun generasinya, tetap peran orang tua adalah yang terpenting.
Lalu bagaimana idealnya membesarkan alpha generation?

Karena gen alpha adalah anak digital, maka orang tua juga harus paham digital. Kita sebagai orang tua harus mengikuti perkembangan teknologi. Semakin kita membuka pikiran akan teknologi, anak akan lebih terbuka dan dekat dengan kita, karena mereka menganggap orang tuanya sejalan dengannya.

Kemudian jangan pernah sekalipun menjadi orang tua layaknya komandan dan prajurit. Otoriter dan egois. Gen alpha sangat menguasai teknologi. Mereka dimudahkan mengakses beragam informasi. Ini tentu mempengaruhi mereka dalam pengambilan keputusan. Dikhawatirkan jika orang tua otoriter maka gen alpha akan melakukan hal di luar nalar atas dasar kemauan mereka sendiri.

Sesekali terapkan aturan dan waktu penggunaan gadget. Buatlah aturan berapa lama waktu yang bisa digunakan dan konten apa saja yang bisa dilihat agar bisa seimbang waktu menggunakan gadget, waktu keluarga, dan waktu bersosial dengan lingkungan sekitar. Agar kemampuan sosial anak juga tetap berkembang.

Yang terakhir, bangun hubungan baik dengan anak gen alpha. Terapkan dalam pikiran kita bahwa anak berbeda dengan orang tua. Jamannya beda, kebiasaanya beda, dan tantangannya juga beda. Jangan pernah samakan apa yang generasi kita hadapi dengan generasi anak kita.

Jangan sampai melarang anak – anak gen alpha untuk bermain hp ataupun laptop. Melainkan batasi waktu penggunaannya. Ingat, jangan sampai menghilangkan apa yang sudah seharusnya mereka dapatkan dari mereka lahir. Pertimbangkan juga komunikasi sosial mereka sebanyak mungkin, ajak mereka bertemu tetangga, sanak keluarga, bertamasya ke gunung, dan tempat dimana banyak pengalaman baru bisa ditemukan.

Peluang yang besar harusnya disertai dengan tekad dan niat yang besar. Bisa dibilang gen alpha adalah yang generasi yang paling terdidik. Hal ini berkat teknologi dan informasi yang tersedia. Biarkan mereka tumbuh dan belajar banyak hal. Tugas kita sebagai orang tua hanyalah mendampingi dan mendoakan. (Firahil Syaifinnabilah,, Guru Bahasa Inggris SD Islam Sabilillah Malang)