Dosen UMM Produksi Tas, Pakaian, dan Sepatu Gunakan Teknik Ecoprint
2 min readMALANG, TABLOIDJAWATIMUR.COM – Dosen dan sejumlah mahasiswa Fakultas Pertanian Petenakan (FPP) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Jawa Timur, mengembangkan ecoprint —salah satu teknik mencetak yang dapat mengurangi kerusakan lingkungan dan ekosistem akibat limbah kimia pabrik tekstil— dengan memanfaatkan mangrove. Menariknya, mereka bisa menciptakan tas, pakaian, hingga sepatu dari teknik pewarnaan ini.
DOSEN UMM yang membiimbing para mahasiswa, Dr. Ir. Wehandaka Pancapalaga, M.Kes, menjelaskan, ide ini muncul pada 2019, saat uji coba penelitian yang sudah ia lakukan. Mangrove dinilai bisa dijadikan zat pewarna alami untuk ecoprint. “Penelitian dilakukan sangat rinci. Mulai pemilihan bahan hingga proses produksi. Hal itu berefek pada produk yang bagus dan bermanfaat bagi masyarakat,” katanya, Selasa (06/06/2023) siang.
Wehandaka menjelaskan, hasil dari ekstrak mangrove tidak mudah luntur, sehingga bagus untuk pewarna. Dalam hal ini dia menggunakan mesin pengukus (steam) yang tingkat panasnya lebih terjamin, sehingga warna yang dihasilkan lebih merata. “Suhu yang kami gunakan sekitar 75 derajat dan dikukus selama dua jam. Apabila suhu yang digunakan terlalu tinggi, kulit yang digunakan untuk ecoprint akan rusak. Sementara kalau suhunya terlalu rendah, warna daun dan bunga tidak biaa melekat pada kulit,” jelasnya.
Wehandaka mengatakan, pihaknya sangat serius mendalami penelitian ini, termasuk mengenai pemilihan jenis mordan. Sudah mencoba berbagai cara, mulai mordan tawas, kapur, dan tunjung. Hasilnya, mordan tawas memberikan hasil yang lebih maksimal dan cocok dengan bahan alami yang digunakan. Sementara, kulit yang digunakan untuk teknik ini adalah kulit domba samak jenis crust, karena lebih lentur dan tidak mudah luntur.
“Penelitian ecoprint kami ini sedang proses didaftarkan untuk paten sederhana. Sembari menunggu, kami juga mengabadikannya dalam beberapa event, seperti program matching fund bersama UMKM Bululawang, Kabupaten Malang. Hasilnya, masyarakat sangat antusias memproduksi ecoprint tersebut, karena di Desa Bululawang banyak pengrajin kulit yang masih monoton menggunakan warna hitam polos,” tandasnya.
Wehandaka bersama tim berharap, penelitian ecoprint dapat diterima masyarakat. Mereka memiliki tujuan untuk membantu perajin kulit agar bisa lebih kreatif. Utamanya dalam hal warna, teknik, dan cara yang lebih ramah lingkungan. “Untuk selanjutnya, saya sedang mencoba mengombinasi antara ecoprint dan ukiran agar hasil akhirnya seperti daun yang nampak timbul. Sehingga makin terlihat menarik dan bagus,” pungkas Wehandaka. (div/mat)