Dampak Kebijakan “Liberation Day” Trump: Indonesia di Persimpangan Krisis dan Reformasi Ekonomi
2 min read*Oleh : Anzua Fatih Qomariah (Mahasiswa Program Pendidikan Sarjana (S-1) Pada Program Studi Ilmu Pemerintahan)
Kebijakan tarif “Hari Pembebasan” yang sering disebut dengan “Liberation Day” yang diumumkan oleh Presiden Donald Trump pada April 2025 telah menciptakan tantangan besar bagi perekonomian Indonesia. Ekspor Indonesia ke AS pada tahun 2024 mencapai sekitar USD 23,9 miliar, menjadikannya salah satu pasar ekspor penting Indonesia. Sektor-sektor yang paling terkena dampak tarif 32% meliputi tekstil dan produk tekstil (TPT), karet, sepatu, serta elektronik.

MENURUT data dari Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor tekstil dan produk tekstil ke AS saja tercatat mencapai USD 5,1 miliar pada tahun 2024. Apabila tarif ini benar-benar diterapkan setelah periode penangguhan 90 hari, potensi kerugian Indonesia dari sektor TPT saja dapat mencapai lebih dari USD 1,5 miliar per tahun. Sektor tenaga kerja menjadi salah satu yang paling terdampak. Industri TPT menyediakan pekerjaan bagi lebih dari 3 juta orang secara langsung, dan jutaan lainnya secara tidak langsung.
Penutupan sementara pabrik besar seperti Sritex akibat tekanan pasar menunjukkan bahwa kebijakan ini tidak hanya mempengaruhi neraca perdagangan, tetapi juga berpotensi mengancam stabilitas sosial dan perekonomian dalam negeri. Apabila 10% dari tenaga kerja sektor ini hilang, Indonesia berpotensi mengalami tambahan 300.000 penurunan dalam waktu dekat.
Upaya pemerintah Indonesia untuk meningkatkan impor AS sebesar USD 19 miliar juga berisiko mempengaruhi neraca perdagangan dengan negara lainnya. Misalnya, transfer pesanan energi dan pertanian dari negara-negara mitra seperti Tiongkok, Australia, dan Brasil dapat menyebabkan ketegangan baru dalam hubungan diplomatik dan perdagangan. Sebenarnya, Indonesia memiliki Perjanjian Perdagangan Bebas (FTA) yang menguntungkan dengan negara-negara tersebut, seperti dalam konteks Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN-China (ACFTA). Apabila tidak ditangani dengan cermat, strategi pemulihan ini dapat mengubah struktur perdagangan jangka panjang Indonesia.
Bank Indonesia mencatat bahwa penurunan nilai rupiah menjadi suatu tantangan tersendiri. Di awal bulan April 2025, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mencapai Rp 16.300, yang merupakan level terendah dalam dua tahun terakhir. Kondisi ini meningkatkan biaya impor dan mendorong tekanan inflasi lokal yang telah mencapai 4,7% secara tahunan ekspor Indonesia menuju Amerika Serikat. Dalam konteks ini, kebijakan “Liberation Day” bukan sekadar tekanan dari luar, melainkan juga tantangan bagi ketahanan fiskal dan moneter Indonesia. Diperlukan persetujuan kebijakan yang terkoordinasi antara pemerintah dan Bank Indonesia untuk mencegah krisis ganda krisis perdagangan dan krisis moneter.
Kebijakan ini tidak hanya merupakan tantangan bagi diplomasi perdagangan, tetapi juga pemicu reformasi struktural yang telah lama diperlukan oleh perekonomian Indonesia. Kondisi saat ini harus dimanfaatkan sebagai momen untuk memperkuat dasar ekonomi nasional agar lebih tahan terhadap guncangan dari luar di masa mendatang. Momentum ini juga seharusnya mendorong pemerintah untuk mempercepat penerapan teknologi dan inovasi dalam sektor industri dalam negeri.
Penguatan sektor hulu, digitalisasi rantai pasokan, dan peningkatan kualitas SDM bisa menjadi dasar untuk kemandirian ekonomi yang berkelanjutan. Contohnya, dengan mendorong investasi di sektor manufaktur canggih dan energi terbarukan, Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada komoditas ekspor dan juga meningkatkan nilai tambah produk lokal. Transformasi jenis ini tidak hanya merupakan solusi taktis untuk menghadapi tekanan eksternal seperti tarif Trump, tetapi juga merupakan strategi jangka panjang untuk menciptakan daya saing global yang berkelanjutan dan lebih baik. (*)