Bau Kotoran Ayam Ganggu Turis Asing di Candi Kidal
3 min read
MALANG, TABLOIDJAWATIMUR. COM – Keberadaan Candi Kidal di Desa Kidal, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, Jawa Timur, sebagai salah satu peninggalan Kerajaan Singosari, memang harus dijaga dan dilestarikan. Apalagi candi ini menjadi inspirasi dibuatnya lambang negara, Garuda Pancasila. Namun sayang, keberadaannya terganggu dengan adanya kandang ayam yang berada di depan candi.
IMAM WINARKO, juru pelihara Candi Kidal menjelaskan, sejumlah wisatawan, khususnya wisatawan asing, memang sempat mengeluhkan bau kotoran yang diduga berasal dari kandang ayam tersebut. Padahal jumlah wisatawan asing yang berkunjung ke Candi Kidal cukup banyak, sekitar 1.000 orang per tahun.
“Bau kotoran ayam ini sangat mengganggu. Mungkin kalau sama-sama turis lokal, tak begitu bermasalah, karena sama-sama orang Indonesia. Tapi kalau dengan turis asing, otomatis bermasalah. Bagi turis asing, hal ini tentu sangat mengganggu,” katanya, Kamis (10/10/2019) lalu.
Karena itu, Imam Winarko berharap agar ada solusi dari Pemerintah Kabupaten Malang untuk mengatasi masalah ini. “Kami sadari, ini urusan perut. Dan lagi, lahan yang dipakai adalah lahan milik mereka sendiri. Lahan milik pribadi. Sehingga mau dipakai untuk apa pun ya terserah pemilik lahan. Namun pada prinsipnya pemilik mau saja pindah asal ada ganti rugi,” katanya.
“Harapan kami, kalau bisa, pemerintah memindah kandang ayam itu, karena sangat mengganggu tamu. Mungkin pemerintah bisa komunikasi dengan pemilik, lalu membuat kesepakatan tentang ganti rugi,” imbuhnya.

Hal senada diungkapkan Kepala Desa Kidal, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, Ahmad Taufik. Menurutnya, pemilik peternakan ayam, Ahmad Taufik —namanya sama dengan nama kepala desa— tidak keberatan dipindah ke tempat lain asal ada ganti rugi yang layak. “Cuma sampai sekarang belum ada kesepakatan, berapa nilai ganti rugi yang diminta,” katanya seraya menambahkan, kandang ayam yang menampung sekitar 1.000 ekor ini sudah berdiri sekitar 12 tahun.
Menanggapi masalah ini, Bupati Malang, HM Sanusi yang sempat berkunjung ke Candi Kidal, akan memerintahkan Camat Tumpang dan instansi terkait untuk menyelesaikan masalah ini. “Nanti Pak Camat yang akan berkomunikasi dengan pemilik kandang. Nanti akan dicarikan solusi terbaik bagi semua pihak,” tandasnya.
Terkait Candi Kidal, Imam Winarko, juru pelihara Candi Kidal menjelaskan, ada beberapa keistimewaan candi yang terletak di tepi jalan raya yang menghubungkan Kecamatan Tumpang dan Kecamatan Tajinan ini. Di antaranya, semua bangunan candi di Jawa Timur, arsitekturnya mencontoh Candi Kidal.
“Candi Kidal adalah candi yang pertama dan tertua dari peninggalan Kerajaan Singosari. Candi ini dibangun di masa Anusopati, Raja Singosari kedua setelah Ken Arok. Mengapa dikatakan candi tertua di era Singosari? Karena di era Ken Arok belum ada candi. Baru pada masa Anusopati ada candi. Demikian pula di masa Tohjaya, Raja Singosari yang ketiga, juga tak punya tinggalan candi. Baru pada masa Ronggowuni, putera Raja Anusopati, membuat Candi Jajago. Kemudian Raja Kertanegara membangun Candi Singosari,” terang Imam Winarko, Kamis (10/10/2019) di lokasi candi.
Imam juga menjelaskan, selain menjadi contoh arsitektur candi-candi di Jawa Timur, cerita Garuda Adhiparwa yang ada di Candi Kidal ini pun mengilhami Presiden Soekarno menjadikan lambang negara, Garuda Pancasila. “Memang hanya tiga panel (relief), tapi kalau diceritakan, ceritanya sangat panjang,” ujarnya.
Pertama, garuda memanggul tiga raja naga (di sisi selatan candi). Ini filosofinya, garuda ikut memelihara anak Dewi Kadruk (adik tirinya garudea). Kedua, garuda memanggul guci kamandalu (tempat amerta) atau air abadi (di sisi timur candi). Siapa yang bisa minum air ini, tak akan bisa mati. Kalau diterjemahkan dengan kondisi sekarang, kira-kira yang dimaksud adalah air susu ibu. Ini sebagai simbol bahwa dia bisa membebebasakn ibunya dari perbudakan Dewi Kadru.
Ketiga, garuda memanggul ibunya, Dewi Winata (di sisi utara candi). Menurut Imam Winarko, relief ketiga ini menceritakan bahwa anak harus bisa mikul duwur mendem jeru (menjunjung tinggi) kedua orang tuanya, khususnya ibu. “Nah, Pak Karno ambil globalnya saja. Yang beliau maksud dari cerita ketiga relief ini adalah membebaskan ibu pertiwi dari penjajahan,” terangnya.
Terkait dengan kunjungan wisatawan, Imam Wiinarko menjelaskan, jumlahnya cukup banyak, terutama di bulan Juni, Juli, Agustus dan September. Untuk turis asing saja, dalam setahun, lebih dari 1.000 orang. Sedangkan turis domestik (Indonesia) malah lebih banyak. Kalau ditotal, jumlahnya bisa mencapai 20.000 wisatawan asing dan domestik dalam setahun. (mat)