Susahnya Ramadan di Luar Negeri
5 min read* Faraj Puasa 18 Jam di Polandia, Septifa Sulit ke Masjid di Australia
MALANG, TABLOIDJAWATIMUR.COM – Ada cerita menarik di balik Ramadan 1442 H/2021 M bagi sivitas akademika Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Jawa Timur yang sedang menempuh pendidikan di luar negeri. Ada yang sulit menemukan makanan halal untuk sahur dan berbuka hingga rela menempuh jarak yang cukup jauh agar bisa bersua dan berbuka bersama kawan-kawan satu negara.

BEGITU pula suasana Hari Raya Idul Fitri, tentu tidak semeriah di tanah air. Seruan takbir tidak akan ditemui dengan mudah, apalagi takbir keliling. Demikian pula makanan khas Indonesia, pun agak sulit didapar. Meski begitu, mereka tetap semangat dan bahagia bisa menemui Ramadan di Portugal, Taiwan, Polandia, dan Australia.

Septifa Leiliano Ceria misalnya. Alumni Hukum Keluarga Islam (HKI) UMM yang kini menempuh pendidikan di Australian National University ini mengaku cukup kesulitan mengunjungi masjid karena harus ada proses pendaftaran pengunjung. Hal itu tidak lepas dari kebijakan protokol kesehatan yang masih berlaku di Canberra.
“Suasana bulan suci dan lebaran tentu tidak semeriah di Indonesia. Namun alhamdulillah, masih ada kegiatan yang bisa mengobati rasa rindu dengan tanah air,” ungkap Septifa Leiliano, kemarin.
Salah satu agenda yang ia maksud adalah bazar dan festival kuliner makanan halal. Orang-orang muslim bisa dengan mudah mencicipi makanan dari berbagai negara. Ada makanan khas Turki, India, hingga Pakistan. “Meski begitu makanan Indonesia masih menjadi nomor satu di hati saya, terutama soto. Rasanya seperti di rumah, apalagi kalau bertemu dengan teman-teman dari Indonesia di pengajian,” terangnya.

Selain itu, perempuan yang memiliki hobi hiking itu juga sempat menjadi volunter guru mengaji bagi anak-anak di sana. Ia merasa bahwa UMM memberikan banyak manfaat, utamanya kegiatan internasional yang disediakan di International Relation Office (IRO) maupun Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA). Program-program itulah yang membuatnya terbiasa berinteraksi dengan orang-orang dari belahan dunia lain. Salah satunya yang kini sedang ia rasakan di Australia.
Berbeda dengan Adjar Yusrandi Akbar, salah satu pengajar UMM yang sedang menuntut ilmu di Taiwan. Adjar mengaku cukup mudah melakukan ibadah di sana. Apalagi sudah ada musola yang disediakan untuk mahasiswa muslim. Selain itu jumlah penganut Islam di Asia University, tempatnya menimba ilmu, cukup banyak, sehingga memudahkannya dalam menjalankan ibadah puasa.
Adjar menuturkan, ia dan kawan-kawannya yang tergabung dalam Asia University Moslem Association menggelar salat Idul Fitri di kawasan kampus, tepatnya di lapangan voli. Tidak hanya itu, ada pula ramah tamah yang menyediakan makanan halal bagi para muslim. “Alhamdulillah, saya masih bisa merasakan suasana idul fitri dengan nyaman meskipun jauh dari kampung halaman,” ucap Adjar.
Adjar juga aktif memeriahkan agenda Ramadan dan lebaran di universitasnya. Tidak hanya mengikuti kajian, ia juga beberapa kali sempat mengisi kultum dan memasak untuk berbuka. “Mungkin karena terbiasa aktif di kegiatan Ramadan UMM, seperti Baitul Arqam dan Safari Ramadan, jadinya saya merasa senang ketika bisa memeriahkan agenda yang ada di Asia University Taiwan ini,” ungkapnya.
Terbang ke Polandia, ada Firdaus Faraj Ba-Gharib, mahasiswa akuntansi UMM yang menjalani pertukaran pelajar di SGH Warsaw School of Economics. Ia merupakan salah satu mahasiswa yang diberangkatkan UMM melalui beasiswa Erasmus.
Faraj mengaku cukup kesulitan menjalani puasa di sana karena durasinya yang cukup lama, yakni 17 – 18 jam. Belum lagi jarak berbuka, salat tarawih, dan sahur yang berdekatan. “Oh iya, saya adalah satu-satunya muslim yang ada di kampus ini. Jadi hampir tidak ada suasana Ramadan dan lebaran yang saya temui,” jelasnya.
Maka dari itu, Faraj —panggilan akrabnya—- beberapa kali berkunjung ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) untuk ikut dalam berbagai kegiatan. Ia juga seringkali menjadi volunter membagikan makanan berbuka gratis kepada teman-teman di Polandia. Ia dan beberapa temannya di Warsawa juga akhirnya bisa melaksanakan salat idul fitri di salah satu flat milik temannya.
Faraj merasa sangat beruntung menjadi bagian dari UMM. Banyak bekal yang UMM beri sehingga memudahkannya menjalani pertukaran mahasiswa di Polandia. “Banyaknya program dan organisasi yang UMM sediakan memberikan saya begitu banyak dampak positif. Salah satunya dalam bersosialisasi. Jadi saya bisa dengan mudah beradaptasi dan bergaul dengan mahasiswa-mahasiswa asli sini maupun dari negara lain. Saya juga bangga bisa menjadi representasi dari UMM dan Islam di kampus ini,” cerita Faraj.
Hal senada juga diungkapkan oleh Muhammad Ilham, mahasiswa Bahasa Inggris UMM yang sama-sama menjalani pertukaran mahasiswa di Braga, Portugal.
Menurutnya, beragam kegiatan yang ia ikuti selama menjadi mahasiswa UMM sangat berguna ketika dia menempuh pendidikan di Universidade do Minho. Program Pembentukan Kepribadian dan Kepemimpinan (P2KK) UMM misalnya, yang membiasakannya untuk mengatur waktu dan prioritas, utamanya dalam menjalani ibadah puasa dan salat Idul Fitri.
Ilham melaksanakan salat idul fitri di salah satu kediaman mahasiswa Indonesia bersama warga tanah air lainnya. Ada pula segelintir mahasiswa dari Timor Leste yang diundang sebagai bentuk silaturahmi. Kemudian mengunjungi KBRI yang berlokasi di kota Porto, bertemu dan menjalin persaudaraan dengan warga Indonesia lainnya.
“Perasaan rindu dengan keluarga di rumah memang sangat terasa. Namun kalau tidak begini, tidak akan ada cerita berbeda terkait Idul Fitri di negara lain,” pungkasnya.
Tidak jauh berbeda, Dion Maulana Prasetya, Dosen Hubungan Internasional UMM juga merindukan tanah air. Apalagi setahun belakangan, Turki menjalankan protokol kesehatan yang cukup ketat. Kadang juga menerapkan lockdown di beberapa tempat untuk menekan angka penularan. “Sangat rindu tentunya dengan orang tua di Indonesia. Tak lupa para saudara dan teman yang biasanya menemani menghabiskan waktu saat hari raya Idul Fitri,” jelasnya.
Pria yang sedang menyelesaikan studi doktoral di Ankara Yıldırım Beyazıt Üniversitesi ini kembali menceritakan bahwa etos kerja yang selama ini ia dapat di UMM memberikan kemudahan. Utamanya ketika tugas dan kegiatan kampusnya menumpuk. Mental yang ia miliki juga membantunya dalam menghadapi berbagai permasalahan, khususnya kebosanan saat harus menjaga diri di tempat ia tinggal.
Pengalaman menarik lainnya datang dari Salim Toshboyev, salah satu alumni program BIPA UMM asal Uzbekistan. Ia merasakan beberapa perbedaan dalam menjalani puasa dan lebaran di kedua negara. Menurutnya, suasana Ramadan di Indonesia lebih terasa beserta pernak-pernik yang menghiasi. Begitupun dengan budaya mudik yang tidak ia temui di negara asalnya.
“Saya rindu sekali dengan Indonesia, khususnya Malang dan UMM. Teman-teman, dosen, juga dengan program-program internasional yang ada. Begitupun dengan makanan asli Indonesia. Saya suka sekali dengan nasi goreng, soto dan juga pecel. Semoga bisa kembali ke Indonesia dalam waktu dekat, ya,” tutur pria yang kini sibuk menjadi tour leader Asia di Uzbekistan tersebut.(div/mat)