19 April 2024

`

Masyarakat Tegalrejo Gugat Negara Rp 30 Triliun

3 min read
Kuasa hukum masyarakat Tegalrejo, Mintarsa Anuraga, SH.

MALANG, TABLOIDJAWATIMUR. COM – Sengketa tanah antara warga Desa Tegalrejo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang, Jawa Timur, dengan PTP XII Pancursari,  terus bergulir. Kali ini, warga Tegalrejo menggugat perdata negara Rp 30 triliun.

 

PADA SIDANG kedua di Pengadilan Negeri (PN) Kepanjen, Kamis (06/09/2018). Ketua Majelis Hakim, M. Saifudin, SH, kembali menunda sidang setelah pada sidang pertama juga ditunda karena ketidakhadiran kuasa hukum dari pihak tergugat. “Sidang kami tunda sampai 11 Oktober 2018. Kami harap kuasa hukum pihak tergugat agar bisa hadir secara lengkap, agar persidangan bisa cepat diselesaikan,” katanya.

Sidang gugatan perdata masyarakat Desa Tegalrejo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang, Jawa Timur terhadap PTP XII Pancursari di PN Kepanjen.

Menanggapi ditundanya sidang kedua, kuasa hukum masyarakat Tegalrejo, Mintarsa Anuraga, SH, tidak mempermasalahkan hal tersebut. “Ini kan proses perdata. Mereka tidak menghadiri sidang,  itu adalah hak  mereka. Tapi jika tiga kali tidak hadir dalam persidangan, berarti mereka telah menggugurkan haknya, dan bisa diputus secara in absentia,” ujar Mintarsa.

Mewakili masyarakat Desa Tegalrejo, Mintarsa menggugat PTP XII Pancursari, PTP III Medan, Kementrian Dalam Negeri, dan Badan Pertanahan Nasional. “Dalam gugatan yang kami ajukan secara perdata ini, kami menuntut negara sebesar Rp 30 triliun,” tegasnya.

Menurut Mintarsa, dasar gugatan perdata yang dilayangkanya adalah penerbitan SHGU (Sertipikat Hak Guna Usaha) No.2 Tahun 2015 yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Kabupaten Malang. “Kami menilai penerbitan SHGU No.2 Tahun 2015 itu cacat hukum dan ada upaya pemalsuan, sehingga merugikan masyarakat Desa Tegalrejo,” katanya.

Mintarsa yang didampingi juru bicara masyarakat Tegalrejo, Kusnadi menjelaskan duduk persoalan kasus ini. Menurutnya, pada tahun 1957, terjadi usaha menasionalisasi tanah eks perkebunan yang dulunya milik Belanda. “Tahun 1958, kemudian berdiri Desa Darurat Tegalrejo di atas tanah eks perkebunan Belanda yang sudah menjadi tanah negara. Selanjutnya, untuk mengesahkan Desa Tegalrejo, tahun 1980, melalui SK Mendagri No.414 dinyatakan berdiri Desa Tegalrejo Difitif,”jelas Mintarsa.

Timbulnya SK Mendagri No.414/1980 disambut warga desa dengan mengurus sertipikat hak milik (SHM) untuk kepemilikan tanah dari tahun 1980 sampai 1983. Namun tiba-tiba Mendagri menerbitkan Hak Guna Usaha (HGU) No.35/HGU/DA/88 di tahun 1998 untuk PTP XXIII.

“Dalam HGU itu ada ketentuan atau diktum yang menyatakan, dalam area HGU tersebut sudah ada yang punya, maka permasalahan harus diselesaikan secara kekeluargaan. Pada kenyataannya, tidak ada titik temu masalah ganti rugi antara masyarakat Desa Tegalrejo dengan PTP XXIII,” jelas Mintarsa.

Karena tidak ada titik temu, tahun 1996, Mendagri mengeluarkan SK no 3 dan 4 yang membatalkan penerbitan HGU No.35/DA/88. Dua tahun kemudian, di tahun 1998, ada penerbitan SHM untuk 598 KK (Kepala Keluarga) bagi masyarakat Tegalrejo untuk 299 bidang tanah.

“Permasalahan kembali muncul karena tahun 2010, Badan  Pertanahan  Nasional Kabupaten Malang menerbitkan SHGU No 2 Tahun 2010 untuk PTPN XII yang dahulunya bernama PTP XXIII,  dan diperpanjang kembali tahun 2015. Luas areal SHGU tersebut semua wilayah Desa Tegalrejo. Di sini ada cacat hukum,  karena acuan diterbitkan SHGU No 2 /2010 adalah HGU No.35/HGU/DA/88 yang sudah dibatalkan oleh SK Mendagri No 3 dan 4 Tahun 1996. Hal inilah yang kemudian menjadi dasar gugatan perdata kami,” ungkap Mintarsa.

Terkait adanya dugaan penipuan yang mengakibatkan SHGU No 2 Tahun 2010 cacat hukum, warga Desa Tegalrejo telah melaporkan dugaan upaya tindak pidana ke Bareskrim Polri pada tanggal 11 Juli 2011. “Untuk dugaan tindak pidananya, langsung kami laporkan ke Bareskrim Polri dengan laporan nomor LP/B/837/VII/2018/BARESKRIM. Saat ini upaya penyelidikan sudah berlangsung,” pungkas Mintarsa.  (diy)