18 April 2024

`

Gandeng Komunikasi UMM, LSF Galakkan Sensor Mandiri

3 min read

MALANG, TABLOIDJAWATIMUR.COM – Lembaga Sensor Film (LSF) Republik Indonesia  menggandeng Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Jawa Timur untuk berkolaborasi dalam penguatan literasi film.

 

Lembaga Sensor Film (LSF) Republik Indonesia menggandeng Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Jawa Timur menggelar seminar.

 

MENANDAI kegiatan pertama kerjasama kedua pihak, Komunikasi UMM dan LSF menggelar seminar nasional perfilman, Rabu (09/06/2021). Agenda yang diadakan secara daring dan luring ini mengangkat tema “Sensor Film di Antara Kebebasan Berkreasi dan Menjaga Budaya Bangsa”.

Lembaga Sensor Film (LSF) Republik Indonesia menggandeng Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Jawa Timur untuk berkolaborasi dalam penguatan literasi film.

Tampil sebagai narasumber, Ketua LSF, Rommy Fibri Hardiyanto, dan Dosen Komunikasi UMM, Nasrullah. Acara dibuka Wakil Rektor I, Prof. Dr. Syamsul Arifin.

Ketua Prodi Komunikasi UMM, M Himawan Sutanto menyatakan, kegiatan ini merupakan tindak lanjut dari penandatanganan MoU yang dilangsungkan kedua pihak bulan lalu di Jakarta. Selain seminar bersama, kerjasama juga meliputi penguatan kapasitas tenaga sensor, penelitian, pengabdian kepada masyarakat, pemagangan, penguatan gerakan Desa Sensor Mandiri, serta sedang dijajaki sertifikasi untuk tenaga sensor film.

“Ini merupakan langkah awal. Selanjutnya, sebagaimana arahan rektor, Komunikasi UMM dan LSF akan mewujudkan kerjasama ini untuk memperkuat MBKM (Merdeka Belajar Kampus Merdeka, red),” terang Himawan.

Diskusi berlangsung menarik karena sebagian peserta yang mengikuti langsung di lokasi acara maupun secara online lewat channel Youtube Komunikasi UMM. Salah seorang penanya dari Cirebon misalnya,  bertanya apa urgensi LSF saat ini ketika kreatvitas seharusnya tidak perlu dibatasi.

Sebelumnya, dalam pemaparannya, Nasrullah mengungkapkan film ada di antara tiga posisi strategis. Yakni sebagai industri, komunikasi massa, dan kebudayaan. Sebagai industri, perfilman merupakan bisnis yang menggiurkan yang melibatkan tidak hanya insan film di bidang produksi, tapi juga distribusi dan penayangannya. Profit dari sebuah film yang bagus dan box office bisa berlipat ganda.

Di sisi lain, film merupakan komunikasi massa yang sangat tergantung dari apa isi dan bagaimana teknologi infomasi yang membawanya sampai kepada penonton. Film dalam hal ini dapat digunakan untuk propaganda hingga agitasi. “Kekuatan film sangat dahsyat mempengaruhi khalayak,” kata Nasrullah seraya mencontohkan film propaganda anti-vaksinasi di Amerika Serikat, Vaxxed.

Film juga merupakan produk budaya yang penting. Kata Nasrullah, film merupakan lanskap peradaban sehingga untuk melihat kemajuan sebuah bangsa dapat dilihat dari filmnya. “Jika Korea dapat menggoncang dunia melalui Korean Wave, seharusnya Indonesia bisa menggerakkan anak-anak muda di belahan dunia lain untuk menggandrungi kuliner rendang, tarian pendet, kepulauan di Labuhan Bajo atau Raja Ampat,” ungkapnya.

Sedangkan Rommy setuju jika kampus menjadi entitas strategis dalam menggalakkan kajian kritis sekaligus mendorong literasi publik pada film. LSF, menurutnya, tidak akan mampu menjangkau semua film yang diproduksi untuk disensornya. “Kami memerlukan mitra strategis seperti Komunikasi UMM ini,” katanya.

Saat ini, menurut Rommy, sedang terjadi tsunami tontonan. Masyarakat dibanjiri dengan film-film yang hadir diberbagai platform yang berbeda. Tidak hanya di bioskop dan televisi, di platform digital publik justru lebih bebas memilih. “Di sinilah urgensinya sensor mandiri. Masyarakatlah yang harus memilih dan memilah sendiri tontonan yang sehat untuk diri sendiri dan keluarganya,” terang Rommy menyinggung konsep Sensor Mandiri.

LSF mulai tahun ini akan memasifkan gerakan Sensor Mandiri ini. Gerakan itu dimulai dari mengajak masyarakat untuk ikut menjadi bagian dari khalayak film yang kritis. LSF tidak akan lagi menjadi tukang potong film. “Paradigma baru LSF bukan lagi menggunting film, tetapi berdialog dengan produser film untuk menentukan batas usia penonton, mendiskusikan mengenai adegan yang perlu direvisi atau dihilangkan, sampai menemukan titik temu yang tidak mengganggu jalan cerita film tetapi juga tetap menjaga nilai-nilai budaya bangsa kita,” terangnya.

Dalam waktu singkat, tayangan live di channel Youtube seminar ini trending. Tak kurang 5.400 orang telah menonton diskusi menarik ini. Rektor UMM, Dr. Fauzan, M.Pd, mendukung agar Komunikasi UMM menindaklanjuti kerjasama dengan LSF ini lebih produktif lagi.

“Banyak program UMM yang bisa dikolaborasikan, termasuk rencana mau membuka kelas film yang bisa diambil oleh mahasiswa dari jurusan apa pun asal memiliki passion dan minat yang kuat. Silakan dimatangkan lagi,” desak rektor usai menerima Rommy yang didampingi anggota LSF Joseph Samuel di kantor rektorat. (div/mat)