19 April 2024

`

Diwarnai Hujan Lebat, Puncak Launching Glintung Kultur Sukses

4 min read

MALANG, TABLOIDJAWATIMUR. COM – Puncak Launching Glintung Kultur, Sabtu  (27/04/2019), di Glintung RW 23, Kelurahan Purwantoro, Kecamatan Blimbing, Kota Malang, Jawa Timur, diwarnai hujan lebat, sehingga event yang sedianya dimulai jam 19.30 WIB terpaksa mundur sampai jam 21.10 WIB, dan berakhir pada jam 01.30 dini hari. Namun acara tetap berlangsung dengan sukses.

 

Performance salah satu peserta yang memeriahkan puncak Launching Glintung Kultur, Sabtu (27/04/2019), di Glintung RW 23, Kelurahan Purwantoro, Kecamatan Blimbing, Kota Malang, Jawa Timur.

 

Performance salah satu peserta yang memeriahkan puncak Launching Glintung Kultur, Sabtu (27/04/2019), di Glintung RW 23, Kelurahan Purwantoro, Kecamatan Blimbing, Kota Malang, Jawa Timur.

BAHKAN, sejumlah seniman dari berbagai daerah di Jawa Timur, ikut mendukung kegiatan ini. Di antaranya dari Tuban, Situbondo, Banyuwangi, dan Bengakalan.

Menurut Agus Januar Sawer, Ketua Panitia Launching Glintung Kultur, Launching Glintung Kultur yang berlangsung pada tanggal 20, 26, dan 27 April 2019,  menjadi sebuah perayaan atas mulai ditemukannya kembali identitas dan jati diri Glintung RW 23 yang berada di Kelurahan Purwantoro, Kecamatan Blimbing, Kota Malang, Jawa Timur.

“Bagaimana tidak. Rangkaian event budaya yang digarap secara swadaya oleh warga kampung, selain sukses menggerakkan warga untuk giat dalam aktivitas seni budaya tradisional, juga berhasil menggali kembali identitas kampung kuno yang telah tercatat keberadaannya sejak abad ke 9 – 10 masehi,” kata Agus dalam pers rilisnya yang dikirim via WA, Senin (29/04/2019).

Menurut Agus Januar Sawer, menambahkan, dalam rangkaian pertama Launching Glintung Kultur yang dilaksanakan Sabtu (20/04/2019), telah dikupas dan dikaji berbagai puzzle sejarah Kampung Glintung berdasarkan penelusuran toponimi (kajian nama-nama yang masih terjejak), kajian tekstual (naskah kuno dan prasasti), kajian artefaktual (temuan-temuan artefak kuno), dan kajian ekofaktual (kajian kondisi bentang alam, detil-detil alam, apa-apa yang ada di alam Kampung Glintung).

“Pentas Launching Glintung Kultur tanggal 26 dan 27 April 2019 menampilkan aneka pentas seni budaya tradisional, yang dalam beberapa bulan ini giat dilatih secara rutin dan dikembangkan oleh warga, mulai anak-anak, remaja, sampai orang-orang tua. Selain itu ada beberapa sumbangan partisipasi performance dari seniman-seniman di Kota Malang, Tuban, Situbondo, Banyuwangi, Bengakalan, dan beberapa musisi mancanegara, seperti Italia dan Canada,” kata Agus.

Agus menambahkan, puncak Launching Glintung Kultur, Sabtu 27 April 2019, diwarnai dengan hujan lebat yang mengguyur Kota Malang, sehingga event yang sedianya dimulai jam 19.30 WIB terpaksa mundur sampai jam 21.10 WIB, dan berakhir pada jam 01.30 dini hari. Bahkan sempat terjeda beberapa saat karena hujan yang kembali tumpah.

Tari Bapang menjadi pembuka di malam puncak acara, dilanjutkan tari Remo, tari Candi Ayu, yang dimainkan oleh anak-anak dan remaja Kampung Glintung dan para anggota karawitan kampung yang didominasi kaum ibu.

Acara  dilanjutkan dengan kesenian Jaranan, Jathilan, dan Kucingan yang dimainkan oleh Sanggar Glintung Kultur pimpinan Bapak Soel dan Bapak Budi. Kemudian Teater Telulikur digelar oleh kaum remaja kampung, disambung  kesenian rampak oleh Sanggar Rampak Rea-Reo Crew, pimpinan Ibu Mukti, warga Glintung.

Kelompok Unen-Unen Rangel dari Tuban tampil pada jam 23.30 WIB, membawakan beberapa komposisi eksplorasi bunyi-bunyian dengan menggunakan aneka instrumen musik tradisional dari berbagai daerah di nusantara, seperti suling Sumatera, rebab Jawa, karinding Sunda, sape Dayak, dan lain-lain.

Performance berikutnya adalah perkawinan alat musik tradisional dengan teknologi musik digital yang dibawakan  Ali Gardy Ber3 dari Situbondo. Lagu tradisional Sunda Es Lilin dan Man Upon The Hill (Star & Rabbit) dimainkan dengan aransemen yang unik dengan suling, dawai Karmawibhangga Borobudur, dipadukan dengan permainan sequencer dan MIDI, ditunjang dengan efek digital pedal board untuk efek loop yang di-mix dengan aplikasi handphone Coustik dan software Logic Pro di MacBook.

“Instrumen dawai Karmawibhangga Borobudur adalah alat musik dawai yang bentuknya diambil dari relief Karmawibhangga yang ada di Candi Borobudur. Tahun 2016 yang lalu,  Ali Gardy membuat kembali alat musik yang berasal dari abad ke-8 tersebut,” jelas Agus dalam rilisnya.

Di tengah performance Ali Gardy Ber3, hujan kembali mengguyur. Dengan sigap panitia dan warga kampung berupaya melindungi dan mengamankan berbagai alat musik digital di atas panggung dengan payung dan menggelar atap terpal. “Biar hujan tercurah dari langit, pentas Ali Gardy Ber3 di panggung tetap jalan terus, dengan panggung yang dipenuhi panitia yang memegangi payung dan terpal,” ujarnya.

Usai performance Ali Gardy Ber3, panitia berusaha memasang atap terpal dengan lebih rapi. Maka, dipasanglah beberapa tiang penyangga dan tali-tali pengikat, sembari menunggu hujan sedikit mereda.

Performance puncak di Launching Glintung Kultur digelar pada jam 00.45 dini hari, berupa pentas kolaborasi musik tradisional, musik modern, tari tradisional, rampak, tari kontemporer, teater gerak, dan puisi narasi histori kampung.

Performance ini dimainkan oleh The Maspoh (band akustik, dari Malang), Unen-Unen Rangel (dari Tuban), Tejo (pemain harmonika dari Banyuwangi), Sanggar Karawitan Seni Tradisi Glintung Kultur, Rampak Rea Reo Crew, Teater Celoteh, Caca Nini Mranggi (penari difable dari Jogja) dan teater anak-anak warga Kampung Glintung, serta puisi narasi histori kampung oleh Dwi Cahyono, sejarahwan, arkeolog, sekaligus dosen Sejarah Universitas Negeri Malang.

Performance dengan durasi hampir 30 menit ini menceritakan tentang bagaimana perjalanan sejarah masyarakat Kampung Glintung, dalam mengenali dan menemukan jati diri kampungnya, menghancurkan sifat tirani dalam diri berupa ego, keserakahan, manipulasi, pikiran negatif, serta mendominasi satu dan lainnya, menuju budaya gotong-royong, saling mengayomi, kompak, bersinergi, dan saling peduli terhadap segenap potensi warga.

Tirani di dalam diri disimbolkan dengan makhluk-makhluk zombie yang diperankan anak-anak kecil, penghancuran ego disimbolkan dengan memecah balon-balon bertuliskan “TIRANI, EGO, KESERAKAHAN,” dan sebagainya. Gotong-royong dan kekompakan disimbolkan oleh penampilan kesenian rampak.

Di akhir pertunjukan puncak, para seniman kolaborasi mengajak ratusan penonton yang hadir untuk menyanyikan bersama lagu nasional “Padamu Negeri”, sebagai simbol pengabdian pada negeri melalui pengabdian dan berkarya bagi kampungnya. (iko/mat)